Sasaran Pendidikan Menurut
Imam Ghazali
Annemarie Schimmel, seorang Islamolog asal Jerman di depan ratusan peminat
tasawuf di Aula Perpustakaan Nasional Jakarta yang dipandu oleh Dr. Mulyadi
Kartanegara, Dr. Haidar Bagir dan Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc., mengucapkan
komentar “Orang Barat lebih mengenal Rumi (Jalaluddin Rumi) dari pada Islam
atau Al Quran”.
Pujian yang tidak kalah menarik juga lahir dari Islamolog Jerman lain kepada
Imam Ghazali, katanya, “Kalau ada nabi lagi setelah Muhammad, maka
al-Ghazalilah orangnya.”
Layaknya beralasan, bila Islamolog sekaliber Annemarie mengatakan demikian
karena berangkat dari kekagumannya pada pemikiran al-Ghazali secara
konprehenshif. Betapa tidak, al-Ghazali adalah manusia fenomenal yang hidup
dalam gelimang multiaspek dan dinamika kehidupan, yang saat itu puncak
peradaban Islam sedang “mencakar” ketinggian langit.
Dalam kekuasaan Islam yang merengkuh hampir seluruh untaian benua, muncul
kecemerlangan pemikiran — yang pada zamannya hingga saat ini — seluruh mata
hampir tak pernah lepas mencermati tokoh ini. Pusat-pusat kajian keislaman
kampus-kampus Eropa hampir tidak dapat melepaskan kajiannya tentang al-Ghazali.
Al-Ghazali punya peran yang luar biasa, spesial dalam bidang tasawuf, tetapi
juga tidak bisa terpisah dari keahliannya dalam berbagai ilmu.
Saya yakin bahwa studi tentang al-Ghazali tidak akan bisa dibahas dalam
seminggu atau satu bulan karena al-Ghazali adalah seorang tokoh yang
multidimensi, bahkan pemikirannya menjalar pada supra pemikiran yang lebih
luas.
Dalam artikel singkat ini, kita
akan menyusuri pemikiran al-Ghazali seputar sistem pendidikan Islam. Saya
mengharapkan akan lahir perdebatan dan kontribusi pemikiran mengapresiasi sosok
pemikir yang karyanya membanjiri “ladang-ladang pengetahuan” dan menyentuh
seluruh aspek keilmuan ini. Seluruh pesantren salaf dan khalaf dibelahan
nusantara Indonesia, sejak dari Sabang hingga Merauke, tak pernah lepas dari
kajian kitab “Ihya Ulumuddin”, “Al-Mushtashfa” dsb karena dari nama asal
al-Ghazali saja konon telah terjadi perdebatan panjang yang dilontarkan oleh
beberapa penulis biografi tradisional awal.
Sekilas al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad al-Thusi al-Ghazali adalah seorang fuqaha terkemuka, teolog, dan sufi, dilahirkan pada
450/1058 di Thus, kini dekat Masyhad, Khurasan, yang sebelum masa hidupnya,
telah menghasilkan begitu banyak sufi terkenal sehingga Hujwiri (w 464/1071)
menyebutnya sebagai tanah “dimana bayangan kemurahan Tuhan mengayomi” dan “di
mana matahari cinta dan keberuntungan Jalan Sufi berkuasa”.
Sejak kecil beliau dikenal sebagai
anak yang mencintai ilmu pengetahuan. Ia belajar kepada sejumlah guru seperti
Ahmad Ibn Muhammad al-Radzikani hingga Imam al-Juwaini, Imam Haramain, rektor
Nizhamiyah 3 di Naisapur. Beliau belajar fikih pada pamannya, Ahmad (w. 1126)
dan Abu Nashr al-Ismaili. 4
Kecerdasan al-Ghazali membuat
kagum al-Juwaini dan diberi gelar bahrun muqriq (lautan yang menenggelamkan).
Seusai belajar di Naisabur beliau menuju ke Bagdad dan menjadi guru besar di
universitas yang didirikan oleh Nizhamul Mulk, perdana menteri sultan Bani
Saljuk yang ditakdirkan memainkan peran menonjol dalam kehidupan intelektual
al-Ghazali.
Beliau besar dilingkungan
pendidikan serta agama yang kuat dari berbagai tokoh dan ulama besar lain saat
itu. Di samping itu, beliau hidup di sebuah negara (Iran) yang secara tradisi
keilmuan tetap dinamis dan terpelihara sejak kurun abad awal hingga kini,
berbeda dari Bizantium Romawi dan Yunani yang telah runtuh di bawah puing-puing
peradabannya.
Al-Ghazali bertugas sebagai guru
besar hanya selama empat tahun, kemudian ia menetap di Syam. Dari sana beliau
kembali ke Bagdad, lalu ke Naisabur sebagai guru, dengan menulis karya-karya
monumental hingga meninggal dunia di kota kelahirannya pada 1111 M.
Karya-karya terpenting al-Ghazali
dalam bidang pendidikan (tarbiyah) antara lain: Fatihatul Ulum, Ayyuhal Walad,
Ihya ‘Ulumuddin, Mizanul Amal, Al-Risalah al-Laduniyyah, Miskat al-Anwar,
Tahafut al-Falasifah, dan Mi’yar al-’Ilm. Ihya Ulumuddinlah yang menjadi karya
“abadi” tambatan kaum sufi dalam mencari “jalan menuju Tuhan”. Ihya Ulumuddin
dari awal sampai akhir pada hakikatnya membahas masalah akhlak, dengan pusat
kajian di dalamnya berkenaan dengan tarbiyatun nafs (tahdzibun nafs), yakni
aspek pendidikan, yang kian terabaikan, kalau tidak dikatakan terlupakan.
Melalui karya ini, al-Ghazali
berusaha menggabungkan filsafat yang rasional, tasawuf yang emosional
(ortodoksi) dan fikih yang berada di antara keduanya. Inilah a orisinal
al-Ghazali dalam beberapa disiplin ilmu yang ia cetuskan.
Krisis intelektual al-Ghazali
Krisis intelektual al-Ghazali
patut kita cermati karena sangat berkaitan dengan sistem pendidikan yang
kemudian ia gulirkan. Perkenalan al-Ghazali dengan klaim-klaim metodologis
mutakalimun, filosof ta’limiyah, dan sufi memberikan andil sebagai penyebab
krisis pribadinya yang pertama.
Sifat sesungguhnya dari krisis
ini bersifat epistemologis karena pada dasarnya merupakan krisis mencari tempat
yang tepat bagi daya-daya mengetahui (kognitif) dalam skema total pegetahuan.
Khususnya, krisis ini merupakan krisis dalam menetapkan hubungan yang tepat
antara akal dan intuisi intelektual. Ia bingung lantaran pertentangan
mutakallimun dan filosof, dan keandalan pengalaman suprarasional pada kaum sufi
dan Ta’limiyah. Ia bahkan ragu dalam menggunakan indra dan data rasional untuk
pembuktian.
Ia menegaskan bahwa kemudian
keterbebasannya dari krisis tersebut bukan melalui argumen rasional atau bukti
rasional, melainkan sebagai akibat dari cahaya (nur) yang disusupkan
(disisipkan) Tuhan ke dalam dadanya (penegasan bahwa intuisi intelektual
bersifat superior terhadap akal). Lahirlah Maqasid al-Falasifah sebuah
mukaddimah Tahafut. Tahafut sesungguhnya berisi polemik negatif terhadap
filsafat al-Farabi dan Ibn Sina. Tahafut inilah yang kemudian melumpuhkan
filsafat rasionalistik dan menghabisi karier filsafat sebagai disiplin yang
berbeda dari gnosis dan teologi di seluruh wilayah Arab dunia Islam.
Hal yang menarik adalah bahwa Ghazali meletakkan dasar yang kuat bagi
kerangka berpikir/logika yang benar dalam berdebat, berpolemik. Artinya, beliau
menolak serta melumpuhkan filsafat rasionalistik dengan kaidah dan cara serta
metodologi filsafat yang rasionalistik pula. Kerangka ini, yang menurut hemat
penulis, tak lagi digunakan ketika mematahkan lawan berpikir kita dalam
berbagai alur wacana pemikiran yang ada. Dengan kata lain menilai paham dan
pemikiran orang lain dengan kacamata sendiri, walaupun kemudian, dengan nada
minor menyebutkan al-Ghazali memiliki andil terhadap keterpurukan atau masa
stagnasi pemikiran filsafat saat itu. Bahkan menambahkan tertutupnya kran
ijtihad pada tataran fikih atau ra’yu (akal).
Krisis spiritual al-Ghazali
Otobiografi al-Ghazali juga mencatat krisis kedua dari studi sufismenya.
Telaah-telaahnya terhadap karya al-Muhasibi, Al-Junaid, al-Syibli, Al-Basthami
dan pamannya Ahmad, melahirkan krisis yang jauh lebih serius dari krisis
pertamanya.
Ia meninggalkan hingar-bingar dunia, hidup asketik (zuhud) dan kontemplatif
(tafakur). Al-Ghazali benar-benar hanyut dalam aliran sufistik. Dari sinilah
lahir Ihya dan Kimiya’i sa’adat sebuah kapsul waktu pengajaran langkah praktis
tentang akhlak, sebagai atmosfer yang mengarahkan manusia pada penekanan
dimensi esoteris (bathini).
Pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan
Ada dua alat pokok yang dapat digunakan untuk mencapai setiap sasaran
pendidikan: Pertama, aspek pengetahuan yang harus dikuasai pelajar atau dengan
kata lain kurikulum pelajaran yang harus dipelajarinya. Kedua, metode penyajian
mata pelajaran atau materi kurikulum.
Sasaran pendidikan menurut al-Ghazali telah dilukiskan sejalan dengan
pandangannya tentang hidup dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, artinya
sejalan dengan filsafatnya, yang menggabungkan antara potensi sukma dhulani dan
sukma dzahiri.
Akal manusia karena merupakan alat untuk memperoleh ilmu, maka al-Ghazali
memberikan tempat yang terhormat baginya. Akal ia jadikan sebagai objek kajian
khusus, sinergis terhadap hadits nabi : Addienu huwa al-Aql, laa diena liman
laa aqla lahu (agama adalah akal, tiada beragama bagi mereka yang tidak
menggunakan akalnya), sebagaimana ia lakukan terhadap tabiat dan kekuatan
bawaan manusia.
Menurutnya, puncak kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran akal dan
hati dalam membina ruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah
kesempurnaan akhlak manusia, dengan membina ruhnya. Hal ini berlandaskan pada
firman Allah SWT, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar mempunyai akhlak
yang sangat agung”. (QS. 68 : 4). Dan sabda Rasul saw : Innama bu’itstu
liutammima makarimal akhlak.
Al-Ghazali menjelaskan bahwa akhlak berakar pada dua pengertian, khalq dan
khuluq. Khalq merupakan bentuk basyariah, eksternal (materi manusia), yang
dalam penciptaannya terpaksa. Sementara khuluq (akhlak), bagian internal
manusia adalah aspek yang dapat diatur dalam penciptaannya. Layaknya khalq
(bentuk eksternal) yang sempurna kalau semuanya baik — misalnya wajah cantik
kalau semua anggota wajahnya sempurna — bentuk internal juga demikian.
Dan komponen pendukung sempurnanya insan ialah keseimbangan antara daya intelektual
(kognitif), daya emosi, dan daya nafs, oleh daya penyeimbang. Al-Ghazali
memberikan tamsil dengan menjelaskan orang yang menggunakan akalnya yang
berlebih-lebihan tentu akan akal-akalan, sedang yang ‘menganggurkannya’ akan
jahil. Jadi pendidikan dikatakan sukses membidik sasaran sekiranya mampu
mencetak manusia yang berakhlakul karimah.
Pada tataran praktis, konsep “penyucian hati” dengan malamatiyah al-Ghazali
mendapat tantangan tajam dari sufi modern, terutama setelah di-”selewengkan”
(Lihat : Al-Ghazali, “Pilar-pilar Ruhani”, h. 17-20).
Kurikulum pengajaran dan hierarki ilmu
Al-Ghazali sangat intens dalam membahas tentang ilmu. Menurutnya, ilmu dan
amal merupakan satu mata rantai ibarat setali mata uang yang dengannya manusia
dapat selamat ataupun binasa. Dengan ilmu dan amal pula diciptakan langit dan
bumi beserta segala isinya. “Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti
itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya agar kamu mengetahui sesungguhnya
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah meliputi
segala sesuatu”. (QS Ath-Thalaq : 12).
Al-Ghazali menyebut empat sistem klasifikasi yang berbeda:
1. Pembagian ilmu menjadi bagian teoretis dan praktis
2. Pembagian pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan yang dicapai
(hushuli)
3. Pembagian ilmu-ilmu religius (sya’iyah) dan intelektual (aqlnyah)
4. Pembagian ilmu menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.
Pembagian yang terakhir didasarkan pada hadis Rasulullah saw., “Menuntut
ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat”. Ilmu yang wajib dituntut oleh
setiap mukallaf ada tiga jenis yakni ilmu tauhid, ilmu batin (sirr) yang
berkaitan dengan kalbu dan jalan-jalannya, ilmu ibadah lahir yang berkaitan
dengan badan dan harta. Ilmu wajib ini yang kian terabaikan dan terlupakan oleh
sebagian Muslimin.
Metode pengajaran
Filosof besar ini menandaskan perlunya memilih metode yang tepat dan sejalan
dengan sasaran pendidikan. Oleh karena itu, al-Ghazali membagi ilmu dalam
beberapa himpunan, bagian-bagian, dan cabang-cabangnya. Berdasarkan hadis Nabi
saw., “Sampaikan ilmu sesuai dengan kadar kemampuan akal”, al-Ghazali
menganjurkan agar filsafat atau ilmu lainnya diberikan sesuai dengan tabiatnya,
sesuai dengan kemampuan dan kesiapan manusia. Tidak seperti “memberi daging
kepada anak kecil”.
Mengingat pendidikan sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara
dua pribadi, yaitu guru dan murid, al-Ghazali dalam tulisan-tulisannya banyak
mengulas tentang hubungan yang mengikat antara keduanya. Menurutnya hubungan
antara guru dan murid sangat menentukan keberhasilan sebuah pendidikan selain
akan memberikan rasa tenteram bagi murid terhadap gurunya.
Pekerjaan mengajar dalam pandangan al-Ghazali adalah pekerjaan yang paling
mulia sekaligus sebagai tugas yang paling agung. Seperti dikemukakannya :
“Makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian tubuh yang
paling berharga adalah hatinya. Adapun guru adalah orang yang berusaha
membimbing, meningkatkan, menyepurnakan serta menyucikan hati, hingga hati itu
menjadi dekat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, mengajarkan ilmu pengetahuan
dapat dilihat dari dua sudut pandang, pertama ia mengajarkan ilmu pengetahuan
sebagai bentuk ibadah kepada Allah, dan kedua menunaikan tugasnya sebagai
khalifah Allah di muka bumi. Dikatakan khalifah Allah karena Allah telah
membukakan hati seorang ‘alim dengan ilmu yang dengan itu pula seorang ‘alim
menampilkan identitasnya.
Kiranya tidak ada lagi martabat yang lebih tinggi selain sebagai perantara
antara hamba dengan makhluk-Nya. Dalam mendekatkan diri kepada Allah,
menggiringnya kepada surga tempat tinggal abadi.
Al-Ghazali menganjurkan agar seorang guru bertindak sebagai seorang ayah
dari seorang muridnya. Bahkan dalam pandangannya hak guru atas muridnya lebih
besar dibandingkan hak orang tua terhadap anaknya. Ayah adalah sebab dari
lahirnya wujud yang fana, sedangkan guru merupakan sebab bagi lahirnya wujud
yang abadi.
Karena guru menunjukkan jalan yang dapat mendekatkannya kepada Allah baik
guru agama maupun guru umum. Kesucian hati seorang guru juga menjadi prioritas
utama, karena seorang guru bagi murid ibarat bayangan kayu. Bayangan tidak
mungkin lurus bila kayunya bengkok.
Komprehensivitas pendidikannya
Al-Ghazali lahir sebagai peletak dasar “perkawinan” multiaspek disiplin
ilmu, seperti kalam, tasawuf, falsafah, dan fikih. Kehidupannya penuh dinamika
yang mencolok dan dihiasi dengan krisis intelektual dan spiritual. Akan tetapi
dalam perjalanan itu, beliau menggoreskan jejak langkah pengajaran sufistik yang
menekankan aspek akhlakul karimah sebagai mainstream dari Ihya, karya
monumentalnya.
Bila kini ahli pendidikan menyebutnya sebagai kurikulum berbasis komptensi,
al-Ghazali jauh sebelumnya telah meletakkan dasar pondasi yang kuat bahwa
perpaduan yang komprehensif dari kekuatan intelektual, emosional, dan spritual,
yang berpadu pada tasawuf, falsafah dan fikih, satu keniscayaan bagi pelaku dan
peserta didik saat ini. Wallahu a’lam.***
Imam Ghazali
| |
Annemarie Schimmel, seorang Islamolog asal Jerman di depan ratusan peminat
tasawuf di Aula Perpustakaan Nasional Jakarta yang dipandu oleh Dr. Mulyadi
Kartanegara, Dr. Haidar Bagir dan Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc., mengucapkan
komentar “Orang Barat lebih mengenal Rumi (Jalaluddin Rumi) dari pada Islam
atau Al Quran”.
Pujian yang tidak kalah menarik juga lahir dari Islamolog Jerman lain kepada
Imam Ghazali, katanya, “Kalau ada nabi lagi setelah Muhammad, maka
al-Ghazalilah orangnya.”
Layaknya beralasan, bila Islamolog sekaliber Annemarie mengatakan demikian
karena berangkat dari kekagumannya pada pemikiran al-Ghazali secara
konprehenshif. Betapa tidak, al-Ghazali adalah manusia fenomenal yang hidup
dalam gelimang multiaspek dan dinamika kehidupan, yang saat itu puncak
peradaban Islam sedang “mencakar” ketinggian langit.
Dalam kekuasaan Islam yang merengkuh hampir seluruh untaian benua, muncul
kecemerlangan pemikiran — yang pada zamannya hingga saat ini — seluruh mata
hampir tak pernah lepas mencermati tokoh ini. Pusat-pusat kajian keislaman
kampus-kampus Eropa hampir tidak dapat melepaskan kajiannya tentang al-Ghazali.
Al-Ghazali punya peran yang luar biasa, spesial dalam bidang tasawuf, tetapi
juga tidak bisa terpisah dari keahliannya dalam berbagai ilmu.
Saya yakin bahwa studi tentang al-Ghazali tidak akan bisa dibahas dalam
seminggu atau satu bulan karena al-Ghazali adalah seorang tokoh yang
multidimensi, bahkan pemikirannya menjalar pada supra pemikiran yang lebih
luas.
Dalam artikel singkat ini, kita
akan menyusuri pemikiran al-Ghazali seputar sistem pendidikan Islam. Saya
mengharapkan akan lahir perdebatan dan kontribusi pemikiran mengapresiasi sosok
pemikir yang karyanya membanjiri “ladang-ladang pengetahuan” dan menyentuh
seluruh aspek keilmuan ini. Seluruh pesantren salaf dan khalaf dibelahan
nusantara Indonesia, sejak dari Sabang hingga Merauke, tak pernah lepas dari
kajian kitab “Ihya Ulumuddin”, “Al-Mushtashfa” dsb karena dari nama asal
al-Ghazali saja konon telah terjadi perdebatan panjang yang dilontarkan oleh
beberapa penulis biografi tradisional awal.
Sekilas al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad al-Thusi al-Ghazali adalah seorang fuqaha terkemuka, teolog, dan sufi, dilahirkan pada
450/1058 di Thus, kini dekat Masyhad, Khurasan, yang sebelum masa hidupnya,
telah menghasilkan begitu banyak sufi terkenal sehingga Hujwiri (w 464/1071)
menyebutnya sebagai tanah “dimana bayangan kemurahan Tuhan mengayomi” dan “di
mana matahari cinta dan keberuntungan Jalan Sufi berkuasa”.
Sejak kecil beliau dikenal sebagai
anak yang mencintai ilmu pengetahuan. Ia belajar kepada sejumlah guru seperti
Ahmad Ibn Muhammad al-Radzikani hingga Imam al-Juwaini, Imam Haramain, rektor
Nizhamiyah 3 di Naisapur. Beliau belajar fikih pada pamannya, Ahmad (w. 1126)
dan Abu Nashr al-Ismaili. 4
Kecerdasan al-Ghazali membuat
kagum al-Juwaini dan diberi gelar bahrun muqriq (lautan yang menenggelamkan).
Seusai belajar di Naisabur beliau menuju ke Bagdad dan menjadi guru besar di
universitas yang didirikan oleh Nizhamul Mulk, perdana menteri sultan Bani
Saljuk yang ditakdirkan memainkan peran menonjol dalam kehidupan intelektual
al-Ghazali.
Beliau besar dilingkungan
pendidikan serta agama yang kuat dari berbagai tokoh dan ulama besar lain saat
itu. Di samping itu, beliau hidup di sebuah negara (Iran) yang secara tradisi
keilmuan tetap dinamis dan terpelihara sejak kurun abad awal hingga kini,
berbeda dari Bizantium Romawi dan Yunani yang telah runtuh di bawah puing-puing
peradabannya.
Al-Ghazali bertugas sebagai guru
besar hanya selama empat tahun, kemudian ia menetap di Syam. Dari sana beliau
kembali ke Bagdad, lalu ke Naisabur sebagai guru, dengan menulis karya-karya
monumental hingga meninggal dunia di kota kelahirannya pada 1111 M.
Karya-karya terpenting al-Ghazali
dalam bidang pendidikan (tarbiyah) antara lain: Fatihatul Ulum, Ayyuhal Walad,
Ihya ‘Ulumuddin, Mizanul Amal, Al-Risalah al-Laduniyyah, Miskat al-Anwar,
Tahafut al-Falasifah, dan Mi’yar al-’Ilm. Ihya Ulumuddinlah yang menjadi karya
“abadi” tambatan kaum sufi dalam mencari “jalan menuju Tuhan”. Ihya Ulumuddin
dari awal sampai akhir pada hakikatnya membahas masalah akhlak, dengan pusat
kajian di dalamnya berkenaan dengan tarbiyatun nafs (tahdzibun nafs), yakni
aspek pendidikan, yang kian terabaikan, kalau tidak dikatakan terlupakan.
Melalui karya ini, al-Ghazali
berusaha menggabungkan filsafat yang rasional, tasawuf yang emosional
(ortodoksi) dan fikih yang berada di antara keduanya. Inilah a orisinal
al-Ghazali dalam beberapa disiplin ilmu yang ia cetuskan.
Krisis intelektual al-Ghazali
Krisis intelektual al-Ghazali
patut kita cermati karena sangat berkaitan dengan sistem pendidikan yang
kemudian ia gulirkan. Perkenalan al-Ghazali dengan klaim-klaim metodologis
mutakalimun, filosof ta’limiyah, dan sufi memberikan andil sebagai penyebab
krisis pribadinya yang pertama.
Sifat sesungguhnya dari krisis
ini bersifat epistemologis karena pada dasarnya merupakan krisis mencari tempat
yang tepat bagi daya-daya mengetahui (kognitif) dalam skema total pegetahuan.
Khususnya, krisis ini merupakan krisis dalam menetapkan hubungan yang tepat
antara akal dan intuisi intelektual. Ia bingung lantaran pertentangan
mutakallimun dan filosof, dan keandalan pengalaman suprarasional pada kaum sufi
dan Ta’limiyah. Ia bahkan ragu dalam menggunakan indra dan data rasional untuk
pembuktian.
Ia menegaskan bahwa kemudian
keterbebasannya dari krisis tersebut bukan melalui argumen rasional atau bukti
rasional, melainkan sebagai akibat dari cahaya (nur) yang disusupkan
(disisipkan) Tuhan ke dalam dadanya (penegasan bahwa intuisi intelektual
bersifat superior terhadap akal). Lahirlah Maqasid al-Falasifah sebuah
mukaddimah Tahafut. Tahafut sesungguhnya berisi polemik negatif terhadap
filsafat al-Farabi dan Ibn Sina. Tahafut inilah yang kemudian melumpuhkan
filsafat rasionalistik dan menghabisi karier filsafat sebagai disiplin yang
berbeda dari gnosis dan teologi di seluruh wilayah Arab dunia Islam.
Hal yang menarik adalah bahwa Ghazali meletakkan dasar yang kuat bagi
kerangka berpikir/logika yang benar dalam berdebat, berpolemik. Artinya, beliau
menolak serta melumpuhkan filsafat rasionalistik dengan kaidah dan cara serta
metodologi filsafat yang rasionalistik pula. Kerangka ini, yang menurut hemat
penulis, tak lagi digunakan ketika mematahkan lawan berpikir kita dalam
berbagai alur wacana pemikiran yang ada. Dengan kata lain menilai paham dan
pemikiran orang lain dengan kacamata sendiri, walaupun kemudian, dengan nada
minor menyebutkan al-Ghazali memiliki andil terhadap keterpurukan atau masa
stagnasi pemikiran filsafat saat itu. Bahkan menambahkan tertutupnya kran
ijtihad pada tataran fikih atau ra’yu (akal).
Krisis spiritual al-Ghazali
Otobiografi al-Ghazali juga mencatat krisis kedua dari studi sufismenya.
Telaah-telaahnya terhadap karya al-Muhasibi, Al-Junaid, al-Syibli, Al-Basthami
dan pamannya Ahmad, melahirkan krisis yang jauh lebih serius dari krisis
pertamanya.
Ia meninggalkan hingar-bingar dunia, hidup asketik (zuhud) dan kontemplatif
(tafakur). Al-Ghazali benar-benar hanyut dalam aliran sufistik. Dari sinilah
lahir Ihya dan Kimiya’i sa’adat sebuah kapsul waktu pengajaran langkah praktis
tentang akhlak, sebagai atmosfer yang mengarahkan manusia pada penekanan
dimensi esoteris (bathini).
Pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan
Ada dua alat pokok yang dapat digunakan untuk mencapai setiap sasaran
pendidikan: Pertama, aspek pengetahuan yang harus dikuasai pelajar atau dengan
kata lain kurikulum pelajaran yang harus dipelajarinya. Kedua, metode penyajian
mata pelajaran atau materi kurikulum.
Sasaran pendidikan menurut al-Ghazali telah dilukiskan sejalan dengan
pandangannya tentang hidup dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, artinya
sejalan dengan filsafatnya, yang menggabungkan antara potensi sukma dhulani dan
sukma dzahiri.
Akal manusia karena merupakan alat untuk memperoleh ilmu, maka al-Ghazali
memberikan tempat yang terhormat baginya. Akal ia jadikan sebagai objek kajian
khusus, sinergis terhadap hadits nabi : Addienu huwa al-Aql, laa diena liman
laa aqla lahu (agama adalah akal, tiada beragama bagi mereka yang tidak
menggunakan akalnya), sebagaimana ia lakukan terhadap tabiat dan kekuatan
bawaan manusia.
Menurutnya, puncak kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran akal dan
hati dalam membina ruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah
kesempurnaan akhlak manusia, dengan membina ruhnya. Hal ini berlandaskan pada
firman Allah SWT, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar mempunyai akhlak
yang sangat agung”. (QS. 68 : 4). Dan sabda Rasul saw : Innama bu’itstu
liutammima makarimal akhlak.
Al-Ghazali menjelaskan bahwa akhlak berakar pada dua pengertian, khalq dan
khuluq. Khalq merupakan bentuk basyariah, eksternal (materi manusia), yang
dalam penciptaannya terpaksa. Sementara khuluq (akhlak), bagian internal
manusia adalah aspek yang dapat diatur dalam penciptaannya. Layaknya khalq
(bentuk eksternal) yang sempurna kalau semuanya baik — misalnya wajah cantik
kalau semua anggota wajahnya sempurna — bentuk internal juga demikian.
Dan komponen pendukung sempurnanya insan ialah keseimbangan antara daya intelektual
(kognitif), daya emosi, dan daya nafs, oleh daya penyeimbang. Al-Ghazali
memberikan tamsil dengan menjelaskan orang yang menggunakan akalnya yang
berlebih-lebihan tentu akan akal-akalan, sedang yang ‘menganggurkannya’ akan
jahil. Jadi pendidikan dikatakan sukses membidik sasaran sekiranya mampu
mencetak manusia yang berakhlakul karimah.
Pada tataran praktis, konsep “penyucian hati” dengan malamatiyah al-Ghazali
mendapat tantangan tajam dari sufi modern, terutama setelah di-”selewengkan”
(Lihat : Al-Ghazali, “Pilar-pilar Ruhani”, h. 17-20).
Kurikulum pengajaran dan hierarki ilmu
Al-Ghazali sangat intens dalam membahas tentang ilmu. Menurutnya, ilmu dan
amal merupakan satu mata rantai ibarat setali mata uang yang dengannya manusia
dapat selamat ataupun binasa. Dengan ilmu dan amal pula diciptakan langit dan
bumi beserta segala isinya. “Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti
itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya agar kamu mengetahui sesungguhnya
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah meliputi
segala sesuatu”. (QS Ath-Thalaq : 12).
Al-Ghazali menyebut empat sistem klasifikasi yang berbeda:
1. Pembagian ilmu menjadi bagian teoretis dan praktis
2. Pembagian pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan yang dicapai
(hushuli)
3. Pembagian ilmu-ilmu religius (sya’iyah) dan intelektual (aqlnyah)
4. Pembagian ilmu menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.
Pembagian yang terakhir didasarkan pada hadis Rasulullah saw., “Menuntut
ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat”. Ilmu yang wajib dituntut oleh
setiap mukallaf ada tiga jenis yakni ilmu tauhid, ilmu batin (sirr) yang
berkaitan dengan kalbu dan jalan-jalannya, ilmu ibadah lahir yang berkaitan
dengan badan dan harta. Ilmu wajib ini yang kian terabaikan dan terlupakan oleh
sebagian Muslimin.
Metode pengajaran
Filosof besar ini menandaskan perlunya memilih metode yang tepat dan sejalan
dengan sasaran pendidikan. Oleh karena itu, al-Ghazali membagi ilmu dalam
beberapa himpunan, bagian-bagian, dan cabang-cabangnya. Berdasarkan hadis Nabi
saw., “Sampaikan ilmu sesuai dengan kadar kemampuan akal”, al-Ghazali
menganjurkan agar filsafat atau ilmu lainnya diberikan sesuai dengan tabiatnya,
sesuai dengan kemampuan dan kesiapan manusia. Tidak seperti “memberi daging
kepada anak kecil”.
Mengingat pendidikan sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara
dua pribadi, yaitu guru dan murid, al-Ghazali dalam tulisan-tulisannya banyak
mengulas tentang hubungan yang mengikat antara keduanya. Menurutnya hubungan
antara guru dan murid sangat menentukan keberhasilan sebuah pendidikan selain
akan memberikan rasa tenteram bagi murid terhadap gurunya.
Pekerjaan mengajar dalam pandangan al-Ghazali adalah pekerjaan yang paling
mulia sekaligus sebagai tugas yang paling agung. Seperti dikemukakannya :
“Makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian tubuh yang
paling berharga adalah hatinya. Adapun guru adalah orang yang berusaha
membimbing, meningkatkan, menyepurnakan serta menyucikan hati, hingga hati itu
menjadi dekat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, mengajarkan ilmu pengetahuan
dapat dilihat dari dua sudut pandang, pertama ia mengajarkan ilmu pengetahuan
sebagai bentuk ibadah kepada Allah, dan kedua menunaikan tugasnya sebagai
khalifah Allah di muka bumi. Dikatakan khalifah Allah karena Allah telah
membukakan hati seorang ‘alim dengan ilmu yang dengan itu pula seorang ‘alim
menampilkan identitasnya.
Kiranya tidak ada lagi martabat yang lebih tinggi selain sebagai perantara
antara hamba dengan makhluk-Nya. Dalam mendekatkan diri kepada Allah,
menggiringnya kepada surga tempat tinggal abadi.
Al-Ghazali menganjurkan agar seorang guru bertindak sebagai seorang ayah
dari seorang muridnya. Bahkan dalam pandangannya hak guru atas muridnya lebih
besar dibandingkan hak orang tua terhadap anaknya. Ayah adalah sebab dari
lahirnya wujud yang fana, sedangkan guru merupakan sebab bagi lahirnya wujud
yang abadi.
Karena guru menunjukkan jalan yang dapat mendekatkannya kepada Allah baik
guru agama maupun guru umum. Kesucian hati seorang guru juga menjadi prioritas
utama, karena seorang guru bagi murid ibarat bayangan kayu. Bayangan tidak
mungkin lurus bila kayunya bengkok.
Komprehensivitas pendidikannya
Al-Ghazali lahir sebagai peletak dasar “perkawinan” multiaspek disiplin
ilmu, seperti kalam, tasawuf, falsafah, dan fikih. Kehidupannya penuh dinamika
yang mencolok dan dihiasi dengan krisis intelektual dan spiritual. Akan tetapi
dalam perjalanan itu, beliau menggoreskan jejak langkah pengajaran sufistik yang
menekankan aspek akhlakul karimah sebagai mainstream dari Ihya, karya
monumentalnya.
Bila kini ahli pendidikan menyebutnya sebagai kurikulum berbasis komptensi,
al-Ghazali jauh sebelumnya telah meletakkan dasar pondasi yang kuat bahwa
perpaduan yang komprehensif dari kekuatan intelektual, emosional, dan spritual,
yang berpadu pada tasawuf, falsafah dan fikih, satu keniscayaan bagi pelaku dan
peserta didik saat ini. Wallahu a’lam.***