Dalam literatur klasik psikologi, emosi merupakan reaksi (kejiwaan)
yang muncul lantaran adanya stimulan. Emosi yang sangat fruktuatif
(mudah berubah) terjadi pada masa remaja. remaja
sering tidak mampu memutuskan simpul-simpul ikatan emosional
kanak-kanaknya dengan orang tua secara logis dan objektif. Dalam usaha
itu mereka kadang-kadang harus menentang, berdebat, bertarung pendapat
dan mengkritik dengan pedas sikap-sikap orang tua (Thomburg, 1982).
Meskipun hal ini sulit dilakukan namun dalam upaya pencapaian
kemandirian yang optimal terhadap diri remaja maka upaya tersebut harus ditempuh.
Fenomena
ini menarik untuk dicermati, sebab perilaku anak remaja tersebut bila
ditinjau dari perspektif psikologis merupakan upaya pelepasan dirinya
dari keterikatan-keterikan orang tua yang dirasa terlalu membelenggu,
ia berusaha mandiri secara emosi, dan tidak lagi menjadikan orang tua
sebagai satu-satunya sandaran dalam pengambilan keputusan. Ia
memutuskan sesuatu atas dasar kebutuhan dan kemampuan pribadi, walaupun
pada suatu saat masih mempertimbangkan kepentingan dan harapan orang
tua.
Bagi remaja, tuntutan untuk memperoleh kemandirian secara
emosional merupakan dorongan internal dalam mencari jati diri, bebas
dari perintah-perintah dan kontrol orang tua. Remaja menginginkan
kebebasan pribadi untuk dapat mengatur dirinya sendiri tanpa bergantung
secara emosional pada orang tuanya. Bila remaja mengalami kekecewaan,
kesedihan atau ketakutan, mereka ingin dapat mengatasi sendiri
masalah-masalah yang dihadapinya. Meskipun remaja dapat mendiskusikan
masalah-masalahnya dengan ayah atau ibunya, tetapi mereka ingin
memperoleh kemandirian secara emosional dengan mengatasi sendiri
masalah-masalahnya dan ingin memperoleh status yang menyatakan bahwa
dirinya sudah dewasa.
Perkembangan kemandirian emosional remaja,
tidak terlepas dari penerapan pengasuhan orang tua melalui interaksi
antara ibu dan ayah dengan remajanya. Orang tua merupakan lingkungan
pertama yang paling berperan dalam pengasuhan anak remajanya, sehingga
mempunyai pengaruh yang paling besar pada pembentukan kemandirian
emosional remaja. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan
seperti I Nyoman Karna (2002), Miftahul Jannah (2004), Risa Panti
Ariani (2004) menunjukkan bahwa gaya pengasuhan orang tua yang
harmonis, hangat, penuh kasih sayang (authoritative) menunjang
perkembangan kemandirian emosional remaja, namun sebaliknya gaya
pengasuhan yang penuh dengan tuntutan, orang tua tidak perhatian, penuh
dengan sanksi, tidak pernah melibatkan anak dalam pengambilan keputusan
akan menghambat perkembangan kemandirian remaja khususnya kemandirian
emosional artinya remaja tidak mampu melepaskan diri dari
ketergantungan dan keterikatan secara emosional dengan orang tua.
Masa
remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana
hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago
oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa
remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood
“senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa
memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing)
yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban
pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah.
Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut
belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.
Reaksi-reaksi
dan ekspresi emosional yang masih labil dan belum terkendali pada masa
remaja dapat berdampak pada kehidupan pribadi maupun sosialnya. Dia
menjadi sering merasa tertekan dan bermuram durja atau justru dia
menjadi orang yang berperilaku agresif. Pertengkaran dan perkelahian
seringkali terjadi akibat dari ketidakstabilan emosinya.
Usaha
remaja untuk memperoleh kebebasan emosional sering disertai perilaku
"pemberontakan" dan melawan keinginan orangtua. Bila tugas perkembangan
ini sering menimbulkan pertentangan dalam keluarga dan tidak dapat
diselesaikan di rumah , maka remaja akan mencari jalan keluar dan
ketenangan di luar rumah. Tentu saja hal tersebut akan membuat remaja
memiliki kebebasan emosional dari luar orangtua sehingga remaja justru
lebih percaya pada teman-temannya yang senasib dengannya. Jika orangtua
tidak menyadari akan pentingnya tugas perkembangan ini, maka remaja
Anda dalam kesulitan besar.
Untuk mendapatkan kebebasan
emosional, remaja mencoba merenggangkan hubungan emosionalnya dengan
orang tua; ia harus dilatih dan belajar untuk memilih dan menentukan
keputusannya sendiri. Usaha ini biasanya disertai tingkah laku
memberontak atau membangkang. Dalam hal ini diharapkan pengertian orang
tua untuk tidak melakukan tindakan yang bersifat menindas, akan tetapi
berusaha membimbingnya secara bertahap. Usahakan jangan menciptakan
suasana lingkungan yang lain, yang kadang-kadang menjerumuskannya. Anak
menjadi nakal, pemberontak dan malah mempergunakan narkotika
(menyalahgunakan obat).
Referensi :
yang muncul lantaran adanya stimulan. Emosi yang sangat fruktuatif
(mudah berubah) terjadi pada masa remaja. remaja
sering tidak mampu memutuskan simpul-simpul ikatan emosional
kanak-kanaknya dengan orang tua secara logis dan objektif. Dalam usaha
itu mereka kadang-kadang harus menentang, berdebat, bertarung pendapat
dan mengkritik dengan pedas sikap-sikap orang tua (Thomburg, 1982).
Meskipun hal ini sulit dilakukan namun dalam upaya pencapaian
kemandirian yang optimal terhadap diri remaja maka upaya tersebut harus ditempuh.
Fenomena
ini menarik untuk dicermati, sebab perilaku anak remaja tersebut bila
ditinjau dari perspektif psikologis merupakan upaya pelepasan dirinya
dari keterikatan-keterikan orang tua yang dirasa terlalu membelenggu,
ia berusaha mandiri secara emosi, dan tidak lagi menjadikan orang tua
sebagai satu-satunya sandaran dalam pengambilan keputusan. Ia
memutuskan sesuatu atas dasar kebutuhan dan kemampuan pribadi, walaupun
pada suatu saat masih mempertimbangkan kepentingan dan harapan orang
tua.
Bagi remaja, tuntutan untuk memperoleh kemandirian secara
emosional merupakan dorongan internal dalam mencari jati diri, bebas
dari perintah-perintah dan kontrol orang tua. Remaja menginginkan
kebebasan pribadi untuk dapat mengatur dirinya sendiri tanpa bergantung
secara emosional pada orang tuanya. Bila remaja mengalami kekecewaan,
kesedihan atau ketakutan, mereka ingin dapat mengatasi sendiri
masalah-masalah yang dihadapinya. Meskipun remaja dapat mendiskusikan
masalah-masalahnya dengan ayah atau ibunya, tetapi mereka ingin
memperoleh kemandirian secara emosional dengan mengatasi sendiri
masalah-masalahnya dan ingin memperoleh status yang menyatakan bahwa
dirinya sudah dewasa.
Perkembangan kemandirian emosional remaja,
tidak terlepas dari penerapan pengasuhan orang tua melalui interaksi
antara ibu dan ayah dengan remajanya. Orang tua merupakan lingkungan
pertama yang paling berperan dalam pengasuhan anak remajanya, sehingga
mempunyai pengaruh yang paling besar pada pembentukan kemandirian
emosional remaja. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan
seperti I Nyoman Karna (2002), Miftahul Jannah (2004), Risa Panti
Ariani (2004) menunjukkan bahwa gaya pengasuhan orang tua yang
harmonis, hangat, penuh kasih sayang (authoritative) menunjang
perkembangan kemandirian emosional remaja, namun sebaliknya gaya
pengasuhan yang penuh dengan tuntutan, orang tua tidak perhatian, penuh
dengan sanksi, tidak pernah melibatkan anak dalam pengambilan keputusan
akan menghambat perkembangan kemandirian remaja khususnya kemandirian
emosional artinya remaja tidak mampu melepaskan diri dari
ketergantungan dan keterikatan secara emosional dengan orang tua.
Masa
remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana
hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago
oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa
remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood
“senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa
memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing)
yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban
pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah.
Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut
belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.
Reaksi-reaksi
dan ekspresi emosional yang masih labil dan belum terkendali pada masa
remaja dapat berdampak pada kehidupan pribadi maupun sosialnya. Dia
menjadi sering merasa tertekan dan bermuram durja atau justru dia
menjadi orang yang berperilaku agresif. Pertengkaran dan perkelahian
seringkali terjadi akibat dari ketidakstabilan emosinya.
Usaha
remaja untuk memperoleh kebebasan emosional sering disertai perilaku
"pemberontakan" dan melawan keinginan orangtua. Bila tugas perkembangan
ini sering menimbulkan pertentangan dalam keluarga dan tidak dapat
diselesaikan di rumah , maka remaja akan mencari jalan keluar dan
ketenangan di luar rumah. Tentu saja hal tersebut akan membuat remaja
memiliki kebebasan emosional dari luar orangtua sehingga remaja justru
lebih percaya pada teman-temannya yang senasib dengannya. Jika orangtua
tidak menyadari akan pentingnya tugas perkembangan ini, maka remaja
Anda dalam kesulitan besar.
Untuk mendapatkan kebebasan
emosional, remaja mencoba merenggangkan hubungan emosionalnya dengan
orang tua; ia harus dilatih dan belajar untuk memilih dan menentukan
keputusannya sendiri. Usaha ini biasanya disertai tingkah laku
memberontak atau membangkang. Dalam hal ini diharapkan pengertian orang
tua untuk tidak melakukan tindakan yang bersifat menindas, akan tetapi
berusaha membimbingnya secara bertahap. Usahakan jangan menciptakan
suasana lingkungan yang lain, yang kadang-kadang menjerumuskannya. Anak
menjadi nakal, pemberontak dan malah mempergunakan narkotika
(menyalahgunakan obat).
Referensi :
- Sarwono, S.W. 2000. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
- Sulaeman, D. 1995. Psikologi Remaja : Dimensi-Dimensi Perkembangan.Bandung: CV Mandar Maju.
- Alatas, Alwi. 2005. (Untuk) 13+, Remaja Juga Bisa Bahagia, Sukses, Mandiri. Jakarta: Pena.
No Comment.