Buku yang di resume adalah buku yang berjudul “90 MENIT BERSAMA ARISTOTELES”, karya Paul Strathern, cetakan tahun 1997 lalu diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Erlangga tahun 2001.
Dalam buku ini, Paul Strathern memberikan penjelasan yang jernih beserta pengetahuan yang mendalam atas hidup dan gagasan Aristoteles, serta menjelaskan bagaimana semuanya itu mempengaruhi perjuangan kita, manusia, untuk mengerti keberadaan kita di dunia. Dalam buku ini terdapat pula cukilan karya-karya Aristoteles terpilih; daftar singkat bacaan lanjutan bagi mereka yang ingin melangkah lebih jauh bersama Aristoteles; serta kronologi kehidupan Aristoteles baik dalam masa hidupnya maupun dalam perkembangan filsafat selanjutnya yang lebih luas.
Buku ini merupakan interprestasi singkat yang handal dari pemikir-pemikir dunia, mengupas pemikiran filosofis mereka dengan gaya serius tapi santai dan membuatnya menarik bagi semua kalangan.
RESUME
Aristoteles barangkali merupakan orang serba bisa pertama dan terbesar sepanjang sejarah. Dia telah menulis banyak sekali hal, dari kerang hingga sterilitas, dari spekulasi mengenai sifat dasar jiwa hingga meteorologi, puisi dan kesenian, bahkan hingga tafsir mimpi. Aristoteles dianggap telah melakukan perubahan di segala bidang pengetahuan yang disentuhnya (kecuali dalam bidang matematika yang tetap saja dikuasai oleh pemikiran Plato dan kaum Platonis). Yang lebih penting dari semua itu, Aristoteles juga dianggap sebagai peletak fondasi pertama dalam bidang logika.
Karya Aristoteles yang justru dikenal sebagai seorang prosais, Poetika, adalah salah satu uraian yang paling berpengaruh dalam kesusasatraan. Sementara itu, Plato yang hingga sejauh ini dianggap sebagai filsuf yang paling berbakat dalam bidang puisi justru mengecam keberadaan para penyair. (Banyak orang bertanya-tanya, apa sebenarnya yang hendak disembunyikan oleh Plato). Aristoteles memandang tinggi puisi dengan menyatakannya lebih memiliki nilai dibanding sejarah, karena lebih bersifat filosofis. Sejarah hanya berurusan dengan kejadian-kejadian tertentu (particular), sedangkan puisi lebih dekat kepada “yang universal”. Dalam hal ini ia bertentangan dengan dirinya sendiri dan lebih menampakkan pandangan plato.
Aristoteles dikenal sebagai peletak dasar logika (diperlukan waktu hingga dua ribu tahun untuk munculnya seorang logikus yang mempunyai kaliber yang setara dengannya); dia adalah seorang ahli metafisika yang hampir setara dengan gurunya sendiri, Plato; dan melebihi gurunya tersebut dalam bidang etika maupun estetika (epistomologi). (Namun demikian, plato memiliki kelebihan dalam hal kepeloporan. Boleh saja Aristoteleslah yang menghasilkan jawaban-jawabannya, tapi platolah yang berhasil menemukan pertanyaan-pertanyaan dasar yang seharusnya dipertanyakan sejak semula).
Pencapaian Aristoteles yang paling signifikan adalah bidang logika. Aristoteles telah sampai pada suatu kesimpulan bahwa logikalah yang menjadi fondasi yang mendasari semua bentuk pembelajaran. Plato memang telah mengerti bahwa pengetahuan harus ditemukan dengan dialektika (argumentasi percakapan yang berasal dari bentuk tanya-jawab), tetapi Aristoteleslah yang melakukan formalisasi dan meningkatkan metode tersebut melalui silogisme yang ditemukannya.
Menurut Aristoteles, silogisme menunjukkan bahwa “ketika suatu hal tertentu dinyatakan maka tentunya dapat ditunjukkan tentang sesuai yang lain yang akan mengikutinya.” Misalnya kalau kita menyatakan dua hal berikut:
• Semua manusia adalah makhluk hidup
• Semua orang Yunani adalah manusia
Maka dapat disimpulkan
• Semua orang Yunani adalah makhluk hidup
Hal ini secara logis benar dan tak bias disangkal. Aristoteles melakukan perbedaan terhadap berbagai macam silogisme, menyangkut kasus-kasus terbatas dan negatif, tetapi semuanya memiliki struktur dasar yang sama. Premis mayor diikuti oleh premis minor, dan akhirnya menuju pada kesimpulan. Dengan demikian:
• Tak ada filsuf yang bodoh
• Beberapa manusia adalah filsuf
• Karena itu beberapa manusia tidak bodoh
Bagi cara berpikir kita pada zaman ini, jenis argument ini tampaknya sungguh sangat tidak praktis dan akan membawa kita pada pola piker yang membingungkan. Meskipun begitu, pada zaman Aristoteles, silogisme ini menunjukkan suatu kemajuan kategoris di dalam cara berpikir manusia, suatu penemuan dahsyat yang tidak tertandingi sebelum maupun sesudahnya. Tapi bukan berarti bahwa silogisme ini tak memiliki kekurangan definitif tertentu.
Umpanya, silogisme:
• Semua kuda adalah binatang
• Semua kuda memiliki kuku
• Jadi, sejumlah binatang memiliki kuku
Argumen ini hanya abash jika memang ada apa yang dinamakan kuda itu. Seperti yang diperlihatkan dalam silogisme yang mempunyai struktur sama dengan di atas:
• Semua unicorn adalah kuda
• Semua unicorn memiliki tanduk
• Jadi,beberapa kuda memiliki tanduk
Aristoteles menyebut logikanya sebagai “analytika’ yang artinya pengungkapan. Setiap ilmu pengetahuan atau bidang-bidang pengetahuan lainnya harus memulai dari serangkaian prinsip pertama, atau aksioma. Dari sinilah kebenaran dapat dideduksikan dengan logika (diungkapkan seluk beluknya). Aksioma-aksioma ini menentukan bidang-bidang kegiatannya dengan menyingkirkan unsur-unsur yang tidak relevan atau tidak sesuai. Misalnya biologi dan puisi dimulai dari premis-premis yang saling berdiri sendiri. Dengan demikian, binatang-binatang dari negeri dongeng bukanlah bagian dari biologi, dan biologi pun tak perlu dituliskan dalam bentuk puisi. Pendekatan logis ini membebaskan keseluruhan bidang pengetahuan. Sehingga masing-masing bidang mempunyai kesempatan sendiri untuk menemukan keseluruhan rangkaian kebenaran yang baru. Dibutuhkan waktu paling tidak selama dua milenium untuk menyadari bahwa pendekatan ini justru menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.
Hal ini disebabkan pemikiran Aristoteles di Abad Pertengahan yang diperlakukan sebagai ajaran agama membuat perkembangannya terhambat. Sebuah kesalahan fatal karena selama berabad-abad sebelumnya pemikiran Aristoteles ini adalah filsafat.
Metafisika, judul yang diberikan oleh Andronikos dari Rhodos (pemimpin Lyceum yang terakhir) terhadap salah satu kelompok karya Aristoteles. Dalam versi aslinya, karya ini tak berjudul dan hanyalah disertakan dalam karya fisika, sehingga akhirnya Andronikos hanya memberi label “di luar fisika” yang dalam bahasa Yunani kunonya adalah “metafisika”. Karya-karya yang termuat dalam bagian ini terdiri dari risalah-risalah Aristoteles mengenai ontologi (kodrat dan sifat hubungan dari ada atau being) serta seluruh kodrat yang sebenarnya atas berbagai hal.
Topik ini dengan segera diidentifikasi dengan label yang telah ditempel pada karya-karya ini: metafisika. Dengan demikian, kata yang selama berabad-abad ini telah menjadi sinonim dengan kata filsafat, sebenarnya tak ada urusan dengan filsafat yang dilukiskannya. Seperti halnya dengan filsafat, metafisika dimulai dengan suatu kekeliruan dan masih terus berkembang seperti itu hingga saat ini.
Selama berabad-abad banyak sumbangan Aristoteles terhadap filsafat yang dianggap sebagai sesuatu yang sangat keramat. Kebenaran yang diungkapkannya pun menjadi “kebenaran abadi” yang tak boleh disangkal selama-lamanya. Tetapi, fajar filsafat modern perlahan-lahan menanggalkan pemikiran Aristotelian. Tentu saja sumbangannya yang paling penting, logika, tampaknya akan menjadi abadi. Lalu, muncullah Nietzsche. Dan logikanya pun dipertanyakan:
Kita tidak dapat mengiyakan skaligus menolak hal yang sama. Ini merupakan suatu hukum empiris yang subjektif, sama sekali tak ad urusannya dengan “keharusan” logis, hanya merupakan ketidakmampuan kita untuk melakukannya sekaligus.
Di dalam pandangan Aristoteles, hukum kontradiksi merupakan prinsip dasar yang paling pasti. Inilah yang merupakan prinsip yang paling mendasar dan utama, yang menjadi tempat ditampungnya segala bukti demonstratif. Prinsip dari segala macam aksioma tergantung padanya. Namun, bila memang begitu halnya, mungkin semestinya kita meninjaunya dengan lebih mendalam, mengenai apakah dugaan juga telah tercakup di dalamnya.
Pada satu sisi, pertanyaan itu bermaksud mengatakan sesuatu mengenai aktualitas, mengenai “ada”, seakan-akan kita telah mengetahui hal tersebut dari sumber lain; yakni seolah-olah atribut yang bertentangan tidak dapat dianggap berasal darinya. Ataukah, yang dimaksudkannya adalah; atribut yang bertentangan tidak seharusnya dianggap berasal darinya. Dalam kedua kasus di atas ini, logika bukanlah suatu perintahuntuk mengetahui kebenaran seperti yang selama ini diperlakukan, melainkan hanyalah suatu perintah untuk mengatur suatu dunia yang bisa kita pandang sebagai sesuatu yang benar.
Dengan demikian, masih tertinggal suatu pertanyaan terbuka. Apakah aksioma logika itu benar-benar setepatnya sesuai dengan realitas? Ataukah logika hanyalah merupakan alat dan metode yang bisa kita gunakan untuk menciptakan suatu konsep mengenai “realitas” yang sesuai dengan kita? Seperti yang telah diindikasikan, bersetuju terhadap pertanyaan pertama berarti bahwa kita harus mempunyai suatu pengetahuan yang mendahuluinya mengenai “ada’ (yakni, sesuatu yang telah ada lebih dulu sebelum kita menggunakan logika dan sama sekali tak tercakup dalam logika itu).
Dan tentu bukan itulah yang dimaksdkan. Dengan demikian, proposisi tersebut (yakni proposisi yang membentuk hukum kontradiksi) tak mencakup kriteria tentang kebenaran. Proposisi ini hanya mrupakan suatu perintah yang mengatakan apa yang seharusnya dianggap benar.
Dengan demikian, logika pun menjadi moralitas di dalam cara kita memandang dan mengindera dunia, etika bagi epistomologi kita. Menolak logika adalah “salah”, bukannya dalam pengertiannya yang sebenarnya, melainkan dalam pengertian moral. Sehingga keseluruhan gagasan kita mengenai kebenaran , logis, ilmiah, religius, kebutuhan untuk mengungkapkan hal itu secara sosial, dan sebagainya, pun terdapat dalam kategori yang sama. Semua itu adalah sistem-sistem yang kita jalani dalam hidup, yang kita gunakan dan memberikan manfaat bagi kita. Semua ini tidak didasarkan pada apa yang terjadi secara aktual, melainkan pada apa yang berguna bagi kita dan sesuai dengan cara yang kita pilih untuk memandang dunia.
Dalam buku ini, Paul Strathern memberikan penjelasan yang jernih beserta pengetahuan yang mendalam atas hidup dan gagasan Aristoteles, serta menjelaskan bagaimana semuanya itu mempengaruhi perjuangan kita, manusia, untuk mengerti keberadaan kita di dunia. Dalam buku ini terdapat pula cukilan karya-karya Aristoteles terpilih; daftar singkat bacaan lanjutan bagi mereka yang ingin melangkah lebih jauh bersama Aristoteles; serta kronologi kehidupan Aristoteles baik dalam masa hidupnya maupun dalam perkembangan filsafat selanjutnya yang lebih luas.
Buku ini merupakan interprestasi singkat yang handal dari pemikir-pemikir dunia, mengupas pemikiran filosofis mereka dengan gaya serius tapi santai dan membuatnya menarik bagi semua kalangan.
RESUME
Aristoteles barangkali merupakan orang serba bisa pertama dan terbesar sepanjang sejarah. Dia telah menulis banyak sekali hal, dari kerang hingga sterilitas, dari spekulasi mengenai sifat dasar jiwa hingga meteorologi, puisi dan kesenian, bahkan hingga tafsir mimpi. Aristoteles dianggap telah melakukan perubahan di segala bidang pengetahuan yang disentuhnya (kecuali dalam bidang matematika yang tetap saja dikuasai oleh pemikiran Plato dan kaum Platonis). Yang lebih penting dari semua itu, Aristoteles juga dianggap sebagai peletak fondasi pertama dalam bidang logika.
Karya Aristoteles yang justru dikenal sebagai seorang prosais, Poetika, adalah salah satu uraian yang paling berpengaruh dalam kesusasatraan. Sementara itu, Plato yang hingga sejauh ini dianggap sebagai filsuf yang paling berbakat dalam bidang puisi justru mengecam keberadaan para penyair. (Banyak orang bertanya-tanya, apa sebenarnya yang hendak disembunyikan oleh Plato). Aristoteles memandang tinggi puisi dengan menyatakannya lebih memiliki nilai dibanding sejarah, karena lebih bersifat filosofis. Sejarah hanya berurusan dengan kejadian-kejadian tertentu (particular), sedangkan puisi lebih dekat kepada “yang universal”. Dalam hal ini ia bertentangan dengan dirinya sendiri dan lebih menampakkan pandangan plato.
Aristoteles dikenal sebagai peletak dasar logika (diperlukan waktu hingga dua ribu tahun untuk munculnya seorang logikus yang mempunyai kaliber yang setara dengannya); dia adalah seorang ahli metafisika yang hampir setara dengan gurunya sendiri, Plato; dan melebihi gurunya tersebut dalam bidang etika maupun estetika (epistomologi). (Namun demikian, plato memiliki kelebihan dalam hal kepeloporan. Boleh saja Aristoteleslah yang menghasilkan jawaban-jawabannya, tapi platolah yang berhasil menemukan pertanyaan-pertanyaan dasar yang seharusnya dipertanyakan sejak semula).
Pencapaian Aristoteles yang paling signifikan adalah bidang logika. Aristoteles telah sampai pada suatu kesimpulan bahwa logikalah yang menjadi fondasi yang mendasari semua bentuk pembelajaran. Plato memang telah mengerti bahwa pengetahuan harus ditemukan dengan dialektika (argumentasi percakapan yang berasal dari bentuk tanya-jawab), tetapi Aristoteleslah yang melakukan formalisasi dan meningkatkan metode tersebut melalui silogisme yang ditemukannya.
Menurut Aristoteles, silogisme menunjukkan bahwa “ketika suatu hal tertentu dinyatakan maka tentunya dapat ditunjukkan tentang sesuai yang lain yang akan mengikutinya.” Misalnya kalau kita menyatakan dua hal berikut:
• Semua manusia adalah makhluk hidup
• Semua orang Yunani adalah manusia
Maka dapat disimpulkan
• Semua orang Yunani adalah makhluk hidup
Hal ini secara logis benar dan tak bias disangkal. Aristoteles melakukan perbedaan terhadap berbagai macam silogisme, menyangkut kasus-kasus terbatas dan negatif, tetapi semuanya memiliki struktur dasar yang sama. Premis mayor diikuti oleh premis minor, dan akhirnya menuju pada kesimpulan. Dengan demikian:
• Tak ada filsuf yang bodoh
• Beberapa manusia adalah filsuf
• Karena itu beberapa manusia tidak bodoh
Bagi cara berpikir kita pada zaman ini, jenis argument ini tampaknya sungguh sangat tidak praktis dan akan membawa kita pada pola piker yang membingungkan. Meskipun begitu, pada zaman Aristoteles, silogisme ini menunjukkan suatu kemajuan kategoris di dalam cara berpikir manusia, suatu penemuan dahsyat yang tidak tertandingi sebelum maupun sesudahnya. Tapi bukan berarti bahwa silogisme ini tak memiliki kekurangan definitif tertentu.
Umpanya, silogisme:
• Semua kuda adalah binatang
• Semua kuda memiliki kuku
• Jadi, sejumlah binatang memiliki kuku
Argumen ini hanya abash jika memang ada apa yang dinamakan kuda itu. Seperti yang diperlihatkan dalam silogisme yang mempunyai struktur sama dengan di atas:
• Semua unicorn adalah kuda
• Semua unicorn memiliki tanduk
• Jadi,beberapa kuda memiliki tanduk
Aristoteles menyebut logikanya sebagai “analytika’ yang artinya pengungkapan. Setiap ilmu pengetahuan atau bidang-bidang pengetahuan lainnya harus memulai dari serangkaian prinsip pertama, atau aksioma. Dari sinilah kebenaran dapat dideduksikan dengan logika (diungkapkan seluk beluknya). Aksioma-aksioma ini menentukan bidang-bidang kegiatannya dengan menyingkirkan unsur-unsur yang tidak relevan atau tidak sesuai. Misalnya biologi dan puisi dimulai dari premis-premis yang saling berdiri sendiri. Dengan demikian, binatang-binatang dari negeri dongeng bukanlah bagian dari biologi, dan biologi pun tak perlu dituliskan dalam bentuk puisi. Pendekatan logis ini membebaskan keseluruhan bidang pengetahuan. Sehingga masing-masing bidang mempunyai kesempatan sendiri untuk menemukan keseluruhan rangkaian kebenaran yang baru. Dibutuhkan waktu paling tidak selama dua milenium untuk menyadari bahwa pendekatan ini justru menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.
Hal ini disebabkan pemikiran Aristoteles di Abad Pertengahan yang diperlakukan sebagai ajaran agama membuat perkembangannya terhambat. Sebuah kesalahan fatal karena selama berabad-abad sebelumnya pemikiran Aristoteles ini adalah filsafat.
Metafisika, judul yang diberikan oleh Andronikos dari Rhodos (pemimpin Lyceum yang terakhir) terhadap salah satu kelompok karya Aristoteles. Dalam versi aslinya, karya ini tak berjudul dan hanyalah disertakan dalam karya fisika, sehingga akhirnya Andronikos hanya memberi label “di luar fisika” yang dalam bahasa Yunani kunonya adalah “metafisika”. Karya-karya yang termuat dalam bagian ini terdiri dari risalah-risalah Aristoteles mengenai ontologi (kodrat dan sifat hubungan dari ada atau being) serta seluruh kodrat yang sebenarnya atas berbagai hal.
Topik ini dengan segera diidentifikasi dengan label yang telah ditempel pada karya-karya ini: metafisika. Dengan demikian, kata yang selama berabad-abad ini telah menjadi sinonim dengan kata filsafat, sebenarnya tak ada urusan dengan filsafat yang dilukiskannya. Seperti halnya dengan filsafat, metafisika dimulai dengan suatu kekeliruan dan masih terus berkembang seperti itu hingga saat ini.
Selama berabad-abad banyak sumbangan Aristoteles terhadap filsafat yang dianggap sebagai sesuatu yang sangat keramat. Kebenaran yang diungkapkannya pun menjadi “kebenaran abadi” yang tak boleh disangkal selama-lamanya. Tetapi, fajar filsafat modern perlahan-lahan menanggalkan pemikiran Aristotelian. Tentu saja sumbangannya yang paling penting, logika, tampaknya akan menjadi abadi. Lalu, muncullah Nietzsche. Dan logikanya pun dipertanyakan:
Kita tidak dapat mengiyakan skaligus menolak hal yang sama. Ini merupakan suatu hukum empiris yang subjektif, sama sekali tak ad urusannya dengan “keharusan” logis, hanya merupakan ketidakmampuan kita untuk melakukannya sekaligus.
Di dalam pandangan Aristoteles, hukum kontradiksi merupakan prinsip dasar yang paling pasti. Inilah yang merupakan prinsip yang paling mendasar dan utama, yang menjadi tempat ditampungnya segala bukti demonstratif. Prinsip dari segala macam aksioma tergantung padanya. Namun, bila memang begitu halnya, mungkin semestinya kita meninjaunya dengan lebih mendalam, mengenai apakah dugaan juga telah tercakup di dalamnya.
Pada satu sisi, pertanyaan itu bermaksud mengatakan sesuatu mengenai aktualitas, mengenai “ada”, seakan-akan kita telah mengetahui hal tersebut dari sumber lain; yakni seolah-olah atribut yang bertentangan tidak dapat dianggap berasal darinya. Ataukah, yang dimaksudkannya adalah; atribut yang bertentangan tidak seharusnya dianggap berasal darinya. Dalam kedua kasus di atas ini, logika bukanlah suatu perintahuntuk mengetahui kebenaran seperti yang selama ini diperlakukan, melainkan hanyalah suatu perintah untuk mengatur suatu dunia yang bisa kita pandang sebagai sesuatu yang benar.
Dengan demikian, masih tertinggal suatu pertanyaan terbuka. Apakah aksioma logika itu benar-benar setepatnya sesuai dengan realitas? Ataukah logika hanyalah merupakan alat dan metode yang bisa kita gunakan untuk menciptakan suatu konsep mengenai “realitas” yang sesuai dengan kita? Seperti yang telah diindikasikan, bersetuju terhadap pertanyaan pertama berarti bahwa kita harus mempunyai suatu pengetahuan yang mendahuluinya mengenai “ada’ (yakni, sesuatu yang telah ada lebih dulu sebelum kita menggunakan logika dan sama sekali tak tercakup dalam logika itu).
Dan tentu bukan itulah yang dimaksdkan. Dengan demikian, proposisi tersebut (yakni proposisi yang membentuk hukum kontradiksi) tak mencakup kriteria tentang kebenaran. Proposisi ini hanya mrupakan suatu perintah yang mengatakan apa yang seharusnya dianggap benar.
Dengan demikian, logika pun menjadi moralitas di dalam cara kita memandang dan mengindera dunia, etika bagi epistomologi kita. Menolak logika adalah “salah”, bukannya dalam pengertiannya yang sebenarnya, melainkan dalam pengertian moral. Sehingga keseluruhan gagasan kita mengenai kebenaran , logis, ilmiah, religius, kebutuhan untuk mengungkapkan hal itu secara sosial, dan sebagainya, pun terdapat dalam kategori yang sama. Semua itu adalah sistem-sistem yang kita jalani dalam hidup, yang kita gunakan dan memberikan manfaat bagi kita. Semua ini tidak didasarkan pada apa yang terjadi secara aktual, melainkan pada apa yang berguna bagi kita dan sesuai dengan cara yang kita pilih untuk memandang dunia.