SUPERVISI
KLINIK
A. Konsep Supervisi Klinik
Supervisi
klinik, mula-mula diperkenalkan dan dikembangkan oleh Morris L. Cogan, Robert
Goldhammer, dan Richarct Weller di Universitas Harvard pada akhir dasa warsa
lima puluh tahun dan awal dasawarsa enam puluhan (Krajewski) 1982). Ada dua
asumsi yang mendasari praktek supervisi klinik. Pertama, pengajaran merupakan
aktivitas yang sangat kompleks yang memerlukan pengamatan dan analisis secara
berhati-hari melalui pengamatan dan analisis ini, supervisor pengajaran akan
mudah mengembangkan kemampuan guru mengelola proses pembelajaran. Kedua,
guru-guru yang profesionalnya ingin dikembangkan lebih menghendaki cara yang
kolegial daripada cara yang outoritarian (Sergiovanni, 1987).
Pada mulanya,
supervisi klinik dirancang sebagai salah satu model atau pendekatan dalam
melakukan supervisi pengajaran terhadap calon guru yang sedang berpraktek
mengajar. Dalam supervisi ini ditekanannya pada klinik, yang diwujudkan adalah
bentuk hubungan tatap muka antara supervisor dan calon guru yang sedang
berpraktek, Cogan (1973) mendefinisikan supervisi klinik sebagai berikut :
The rational and practice designed to improve the
teacher’supervisi classroom performance. It takes its principal data from the
events of the classroom. The analysis of these data and the relationships
between teacher and supervisor from the basis of the program, procedures, and
strategies designed to improve the student’supervisi learning by improving the
teacher’supervisi classroom behavior (Cogan 1973, halaman 54).
Sesuai dengan pendapat Cogan ini,
supervisi klinik pada dasarnya merupakan pembinaan performansi guru mengelola
proses belajar mengajar. Pelaksanaannya didesain dengan praktis secara
rasional. Baik desainnya maupun pelaksanaannya dilakukan atas dasar analisis
data mengenai kegiatan-kegiatan di kelas. Data dan hubungan antara guru dan
supervisor merupakan dasar program prosedur, dan strategi pembinaan perilaku
mengajar guru dalam mengembangkan belajar murid-murid. Cogan sendiri menekankan
aspek supervisi klinik pada lima
hal, yaitu (1) proses supervisi klinik, (2) interaksi antara calon guru dan
murid, (3) performansi calon guru dalam mengajar, (4) hubungan calon guru
dengan supervisor, dan (5) analisis data berdasarkan peristiwa aktual di kelas.
Tujuan supervisi klinik adalah untuk
membantu memodifikasi pola-pola pengajaran yang tidak atau kurang efektif.
Menurut Sergiovanni (1987) ada dua sasaran supervisi klinik, yang menurut
penulis merefleksi multi tujuan supervisi klinik, yang menurut penulis
merefleksi multi tujuan supervisi pengajaran, khususnya pengembangan
profesional dan motivasi kerja guru, sebagaimana telah dikemukakan dalam bab I.
Di satu sisi, supervisi klinik dilakukan untuk membangun motivasi dan komitmen
kerja guru. Di sisi lain, supervisi klinik dilakukan untuk menyediakan
pengembangan staf bagi guru. Sedangkan menurut dua orang teoritisi lainnya,
yaitu Acheson dan Gall (1987) tujuan supervisi klinik adalah meningkatkan
pengajaran guru dikelas. Tujuan ini
dirinci lagi ke dalam tujuan yang lebih spesifik, sebagai berikut.
1.
Menyediakan
umpan balik yang obyektif terhadap guru, mengenai pengajaran yang
dilaksanakannya.
2.
Mendiagnosis dan
membantu memecahkan masalah-masalah pengajaran.
3.
Membantu guru
mengembangkan keterampilannnya menggunakan strategi pengajaran.
4.
Mengevaluasi
guru untuk kepentingan promosi jabatan dan keputusan lainnya.
5.
Membantu guru
mengembangkan satu sikap positif terhadap pengembangan profesional yang
berkesinambungan.
Demikianlah sekilas konsep spuervisi
klinik bila disimpulkan, maka karakteristik supervisi klinik sebagai berikut ;
supervisi klinik berlangsung dalam bentuk hubungan tatap muka antara supervisor
dan guru, tujuan supervisi klinik itu adalah untuk pengembangan profesional
guru. Kegiatan supervisi klinik ditekankan pada aspek-aspek yang menjadi
perhatian guru serta observasi kegiatan pengajaran di kelas, observasi harus
dilakukan secara cermat dan mendetail, analisis terhadap hasil observasi harus
dilakukan bersama antara supervisor dan guru dan hubungan antara supervisor dan
guru harus bersifat kolegial bukan autoritarian.
B.
Langkah-Langkah
Supervisi Klinik
Penjelasan konsep supervisi klinik dan
beberapa hasil penelitian tentang keefektifannya membawa kita untuk menyakini
betapa pentingnya supervisi klinik sebagai satu pendekatan dalam mengembangkan
pengajaran guru. Sudah seharusnyalah setiap supervisor pengajaran berusaha
untuk menerapkannya bagi guru-guru yang menjadi kawasan tanggung jawabnya.
Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana prosedurnya.
Menurut Cogan (1973) ada delapan kegiatan
dalam supervisi klinik yang dinamainya dengan siklus supervisi klinik. Di sini
istilah siklus mengandung dua pengertian pertama., prosedur supervisi klinik
terdiri dari sejumlah tahapan yang merupakan proses yang berkesinambungan.
Kedua, hasil pertemuan tahap akhir menjadi masukan untuk tahap pertama pada
siklus berikutnya. Kedelapan tahap yang dikemukakan oleh Cogan adalah sebagai
berikut (1) tahap membangun dan memantapkan hubungan guru-supervisor, (2) tahap
perencanaan bersama guru, (3) tahap perencanaan strategi observasi, (4) tahap
observasi pengajaran, (5) tahap analisis proses pembelajaran, (6) tahap
perencanaan strategi pertemuan, (7) tahap pertemuan, dan (8) tahap penjajakan
rencana pertemuan berikutnya.
Menurut Mosher dan Purpel (1972) ada tiga
aktivitas dalam proses supervisui klinik, yaitu (1) tahap perencanaan, (2)
tahap observasi, dan (3) tahap evaluasi dan analisis. Menurut Oliva (1984) ada
tiga aktivitas esensial dalam proses supervisi klinik, yaitu (1) kontak dan
komunikasi dengan guru untuk merencanakan observasi kelas (2) observasi kelas,
dan (3) tindak lanjut observasi kelas. Sedangkan menurut Goldhammer, Anderson, dan Krajewski (1981) ada lima kegiatan dalam proses supervisi klinik,
yang disebutnya dengan sequence of supervision, yaitu (1) pertemuan sebelum
observasi (2) observasi, (3) analisis dan strategi, (4) pertemuan supervisi,
dan (5) analisis sesudah pertemuan supervisi.
Demikianlah, walaupun berbeda deskripsi
pada para teriotisi di atas tentang langkah-langkah proses supervisi klinik,
sebenarnya langkah-langkah ini bisa dikembalikan pada tiga tahap esensial yang
berbentuk siklus, yaitu (1) tahap pertemuan awal, (2) tahap observasi mengajar,
dan (3) tahap pertemuan balikan. Dalam buku ajar sederhana ini penulis lebih cenderung membagi
siklus supervisi klinik menjadi tiga tahap juga sebagaimana tersebut di atas.
Deskripsi demikian juga dikemukakan oleh Acheson dan Gall (1987), Alexander Mackie College
of advanced Education (1981) dan Mantja (1984).
1.
Tahap Pertemuan Awal
Tahap pertama dalam proses supervisi
klinik adalah tahap pertemuan awal (preconference). Pertemuan awal ini
dilakukan sebelum melaksanakan observasi kelas sehingga banyak juga para
teoritisi supervisi klinik yang menyebutkan dengan istilah tahap pertemuan
sebelum observasi (preobservation Conference). Menurut Sergiovanni (1987) tidak
ada tahap yang lebih penting daripada tahap pertemuan awal ini.
Tujuan utama pertemuan awal ini adalah
untuk mengembangkan, bersama antara supervisor dan guru, kerangka kerja
observasi kelas yang akan dilakukan. Hasil akhir pertemuan awal ini adalah
kesepakatan (contract) kerja antara supervisor dan guru. Tujuan ini bisa
dicapai apabila dalam pertemuan awal ini tercipta kerja sama, hubungan
kemanusian dan komunikasi yang baik antara supervisor dengan guru. Selanjutnya
kualitas hubngan yang baik antara supervisor dan guru memiliki pengaruh
signifikan terhadap kesuksesan tahap berikutnya dalam proses supervisi klinik. Oleh sebab itu para
teoritisi banyak menyarankan agar pertemuan awal ini, dilaksanakan secara
rileks dan terbuka. Perlu sekali diciptakan kepercayaan guru terhadap
supervisor, sebab kepercayaan ini akan mempengaruhi efektivitas pelaksanaan
pertemuan awal ini. Kepercayaan ini berkenaan dengan kenyakinan guru bahwa
supervisor memperhatikan minat atau perhatian guru.
Pertemuan
pendahuluan ini tidak membutuhkan waktu yang lama. Dalam pertemuan awal ini
supervisor bisa menggunakan waktu 20 sampai 30 menit, kecuali jika guru
mempunyai permasalahan khusus yang membutuhkan diskusi panjang. Pertemuan ini
sebaiknya dilaksanakan di satu ruangan yang netral, misalnya kafetaria, atau
bisa juga di kelas. Pertemuan di ruang kepala sekolah atau supervisor
kemungkinannya akan membuat guru menjadi tidak bebas. Secara teknis, ada
delapan kegiatan yang harus dilaksanakan dalam pertemuan awal ini, yaitu (1)
menciptakan suasana yang akrab dan terbuka, (2) mengidentifikasi aspek-aspek
yang akan dikembangkan guru dalam pengajaran. (3) menerjemahkan perhatian guru
ke dalam tingkah laku yang bisa diamati, (4) mengidentifikasi prosedur untuk
memperbaiki pengajaran guru, (5) membantu guru memperbaiki tujuannya sendiri
(6) menetapkan waktu observasi kelas, (7) menyeleksi instrumen observasi kelas,
dan (8) memperjelas konteks pengajaran dengan melihat data yang akan direkam.
Goldhammer,
Anderson, dan Krajewski (1981) mendeskripsikan satu agenda yag harus dihasilkan
pada akhir pertemuan awal. Agenda
tersebut adalah :
a.
Menetapkan
kontrak atau persetujuan antara supervisor dan guru tentang apa saja yang akan
diobservasi.
1)
Tujuan
instruksional umum dan khusus pengajaran
2)
Hubungan tujuan
pengajaran dengan keseluruhan program pengajaran yang diimplementasikan.
3)
Aktivitas yang
akan diobservasi
4)
Kemungkinan
perubahan formal aktivitas, sistem, dan unsur-unsur lain berdasarkan
persetujuan interaktif antara supervisor dan guru.
5)
Deskripsi
spesifik butir-butir atau masalah-masalah yang balikannya diinginkan guru.
b.
Menetapkan
mekanisme atau aturan-aturan observasi meliputi :
1)
Waktu (jadwal)
observasi
2)
Lamanya
observasi
3)
Tempat observasi
c.
Menetapkan
rencana spesifik untuk melaksanakan observasi meliputi:
1)
Dimana
supervisor akan duduk selama observasi
2)
Akankah
supervisor menjelaskan kepada murid-murid mengenai tujuan observasinya jika
demikian, kapan sebelum ataukah setelah pelajaran.
3)
Akankah
supervisor mencari satu tindakan khusus.
4)
Akankah
supervisor berinteraksi dengan murid-murid
5)
Perlukah adanya
material atau persiapan khusus
6)
Bagaimanakah
supervisor akan mengakhiri observasi
2.
Tahap Observasi Pembelajaran
Tahap kedua dalam proses supervisi
klinik adalah tahap observasi mengajar secara sistematis dan obyektif.
Perhatian observasi ini ditujukan pada guru dalam bertindak dan
kegiatan-kegiatan kelas sebagai hasil tindakan guru. Waktu dan tempat observasi
mengajar ini sesuai dengan kesepakatan bersama antara supervisor dan guru pada
waktu mengadakan pertemuan awal.
Observasi mengajar, mungkin akan terasa
sangat kompleks dan sulit, dan tidak jarang adanya supervisor yang mengalami
kesulitan. Dengan demikian supervisor dituntut untuk menggunakan bermacam-macam
ketrampilan. Menurut Daresh (1989) ada dua aspek yang harus diputuskan dan
dilaksanakan oleh supervisor sebelum dan sesudah melaksanakan observasi
mengajar, yaitu menentukan aspek-aspek yang akan diobservasi mengajar dan
bagaimana cara mengobservasinta.Aspek-aspek yang akan diobservasi harus sesuai
dengan hasil diskusi antara supervisor dan guru pada waktu pertemuan awal.
Aliva (1984) menegaskan sebagai berikut :
If we follow through with the cycle of clinical
supervisor the teacher and supervisor in the preobservation conference have
decided on the specific behaviors of teacher and students which the supervisor
will observe. The supervisor concentrates on the presence or absence of the
spesific behaviors (Oliva : 1984, halaman 502).
Sedangkan mengenai bagaimana
mengobservasi juga perlu mendapatkan perhatian. Maksud baik supervisi akan
tidak berarti apabila usaha-usaha observasi tidak bisa memperoleh data yang
seharusnya diperoleh. Tujuan utama pengumpulan data adalah untuk memperoleh
informasi yang nantinya akan digunakan untuk mengadakan tukar pikiran dengan
guru setelah observasi aktivitas yang telah dilakukan di kelas. Di sinilah
letak pentingnya teknik dan instrumen oberservasi yang bisa digunakan untuk mengobservasi
guru mengelola proses belajar mengajar.
Sehubungan dengan teknik dan instrumen
ini, sebenarnya pada peneliti telah banyak yang mengembangkan bermacam-macam
teknik yang bisa digunakan dalam mengobservasi
pengajaran. Acheson dan Gall (1987)
mereview beberapa teknik dan mengajurkan kita untuk menggunakannya dalam
proses supervisi klinis beberapa teknik tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Selektive verbatim. Di sini supervisor membuat semacam rekaman tertulis, yang bisa dibuat
dengan a verbatim transcript. Sudah barang tentu tidak semua kejadian verbal
harus direkam dan sesuai dengan kesepakatan bersama antara supervisor dan guru
pada pertemuan awal, hanya kejadian-kejadian tertentu yang harus direkam secara
selektif. Transkrip ini bisa ditulis langsung berdasarkan pengamatan dan bisa
juga menyalin dari apa yang direkam terlebih dahulu melalui tape recorder.
b.
Rekaman observasional berupa a seating chart. Di sini, supervisor mendokumentasikan perilaku-perilaku
murid-murid sebagaimana mereka berinteraksi dengan seorang guru selama
pengajaran berlangsung. Seluruh kompleksitas perilaku dan interaksi di
deskripsikan secara bergambar. Melalui penggunaan a seating chart ini,
supervisor bisa mendokumentasikan secara grafis interaksi guru dengan
murid-murid dengan murid. Sehingga dengan mudah diketahui apakah guru hanya
berinteraksi dengan semua murid atau hanya dengan sebagian murid, apakah semua
murid atau hanya sebagian murid yang terlibat proses belajar mengajar.
c.
Wide-lens techniques. Di sini supervisor
membuat catatan yang lengkap mengenai kejadian-kejadian di kelas dan cerita
yang panjang lebar. Teknik ini bisa juga
disebut dengan anecdotal record.
d.
Checkliss and timeline coding. Di sini supervisor mengobservasi dan mengumpulkan
data perilaku belajar mengajar.Perilaku pembelajaran ini sebelumnya telah
diklasifikasi atau dikategorikan. Contoh yang paling baik prosedur ini dalam
observasi supervisi klinik adalah skala analisis interaksi Flanders (Flanders; 1970). Dalam analisis ini, aktivitas kelas
diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu pembicaraan guru,
pembicaraan murid dan tidak ada pembicaraan (silence), Tabel 7.1 merupakan satu
contoh analisis interaksi Flanders.
Tabel
7.1 Kategori Analisis Interaksi Franders
Sumber: Acheson, K.A dan Gall, M.D (1987). Techniques in the the
Clinical Supervision of Teachers. White
Plains, N.Y., Longman
Checlist lainnya yang bisa digunakan
untuk mengarahkan observasi pengajaran adalah apa yang disebut dengan istilah
timeline coding technique yang telah dikembangkan sejak 20 tahun yang lalu,
yang memang didesain untuk mempelajari strategi pengajaran. Di sini, supervisor
mencatat perilaku guru maupun murid dalam waktu-waktu tertentu yang telah
ditetapkan sebelumnya selama waktu-waktu tertentu ditetapkan sebelumnya
disediakan selama proses pembelajaran. Teknik ini bisa disediakan data terhadap
guru yang mereka rasa harus diobservasi dan dikembangkan. Instrumen ini bisa
mengarahkan supervisor dalam observasinya dan menyediakan balikan yang spesifik
dalam klasifikasi waktu yang diinginkan.
Demikianlah beberapa teknik yang telah
direview oleh Acheson dan gall telah dikemukakan, bisa digunakan untuk
mengarahkan dan mempermudah tahap observasi dalam proses supervisi klinik.
Supervisor yang efektif seharusnya menyadari adanya beberapa teknik ini dan
berusaha memiliki satu atau lebih teknik sesuai dengan perhatian guru yang akan
diobservasi. Namun sayangnya, menurut
Daresh (1989), dengan melihat dari waktu ke waktu, yang terjadi justru
sebaliknya. Dan banyak hal, supervisor hanya belajar satu teknik observasi yang
disukainya, misalnya teknik analisis Interaksi Flanders, dan menggunakannya
setiap teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Akan tetapi
kelebihan-hkelebihan setiap teknik dengan cepat akan hilang apabila supervisor
lebih berwawasan terhadap hanya satu teknik yang dipahami dan disukai dengan
tidak mengikuti perhatian pengajaran guru.
3.
Tahap
Pertemuan Balikan
Tahap ketiga dalam proses supervisi
klinik adalah tahap pertemuan balikan. Pertemuan balikan dilakukan segera
setelah melaksanakan observasi pengajaran, dengan terlebih dahulu dilakukan
analisis terhadap hasil observasi. Tujuan utama pertemuan balikan ini adalah
ditindaklanjuti apa saja yang dilihat oleh supervisor, sebagai onserver,
terhadap proses belajar mengajr. Pembicaraan dalam pertemuan balikan ini adalah
ditekankan pada identifikasi dan analisis persamaan dan perbedaan antara
perilaku guru dan murid yang direncanakan dan perilaku aktual guru dan murid,
serta membuat keputusan tentang apa dan bagaimana yang seharusnya akan
dilakukan sehubungan dengan perbedaan yang ada.
Pertemuan balikan ini merupakan tahap
yang penting untuk mengembangkan perilaku guru dengan cara memberikan balikan
tertentu. Balikan ini harus deskriptif, spesifik, konkrit, bersifat memotivasi,
aktual, dan akurat sehingga betul-betul bermanfaat bagi guru (Sergiovanni,
1987). Paling tidak ada lima manfaat pertemuan balikan bagi guru,s ebagaimana
dikemukakan oleh Goldhammer, Anderson, dan Krajewski (1981), yaitu , (1) guru
bisa diberik penguatan dan kepuasan, sehingga bisa termotivasi dalam kerjanya,
(2) isu-isu dalam pengajaran bisa didefinisikan bersama supervisor dan guru
dengan tepat, (3) supervisor bila mungkin dan perlu, bisa berupaya
mengintervensi secara langsung guru untuk memberikan bantuan didaktis dan
bimbingan, (4) guru bisa dilatih dengan teknik ini untuk melakukan supervisi
terhadap dirinya sendiri, dan (5) guru busa diberi pengetahuan tambahan untuk
meningkatkan tingkat analisis profesional diri pada masa yang akan datang.
Tentunya sebelum mengadakan pertemuan
balikan ini supervisor terlebih dahulu menganalisa hasil observasi dan
merencanakan bahan yang akan dibicarakan dengan guru. Begitu pula diharapkan
guru menilai dirinya sendiri. Setelah itu dilakukan pertemuan balikan ini. Dalam pertemuan balikan
ini sangat diperlukan adanya keterbukaan antara supervisor dan guru. Sebaiknya,
pertama-tama supervisor menanamkan kepercayaan pada diri guru bahwa pertemuan
balikan ini bukan untuk menyalahkan guru melainkan untuk memberikan masukan
balikan. Oleh sebab banyak para teoritisi yang menganjurkan agar pertama-tama
yang harus dilakukan oleh supervisor dalam setiap pertemuan balikan adalah
memberikan penguatan (reinforcement) terhadap guru. Baru setelah melanjutkan
dengan analisis bersama setiap aspek pengajaran yang menjadi perhatian
supervisi klinis. Berikut ini beberapa langkah penting yang harus dilakukan
selama pertemuan balikan.
a.
Menanyakan perasaan
guru secara umum atau kesannya terhadap pengajaran yang dilakukan, kemudian
supervisor berusaha memberikan penguatan (reinforcement).
b.
Menganalisa pencapaian tujuan pengajaran. Di sini
supervisor bersama guru mengidentifikasi perbedaan antara tujuan pengajaran
yang direncanakan dan tujuan pengajaran yang dicapai.
c.
Menganalisa target keterampilan dan perhatian utama guru.
Di sini (supervisor bersama guru mengidentifikasi target ketrampilan dan
perhatian utama yang telah dicapai dan yang belum dicapai. Bisa jadi pada saat
ini supervisor menunjukkan hasil rekaman observasi, sehingga guru mengetahui
apa yang telah dilakukan dan dicapai, dan yang belum sesuai dengan target
ketrampilan dan perhatian utama guru sebagaimana disepakati pada tahap
pertemuan awal. Apabila dalam kegiatan observasi supervisor merekam proses
belajar mengajar dengan alat elektronik, misalnya dengan menggunakan alat
syuting, maka sebaiknya hasil rekaman ini dipertontonkan kepada guru sehingga
ia dengan bebas melihat dan menafsirkannya sendiri.
d.
Supervisor
menanyakan perasaannya setelah enganalisis target keterampilan dan perhatian
utamanya.
e.
Menyimpulkan
hasil dari apa yang telah diperolehnya selama proses supervisi klinik. Disini
supervisi memberikan kesempatan kepada guru untuk menyimpulkan target
keterampilan dan perhatian utamanya yang telah dicapai selama proses supervisi
klinis.
f.
Mendorong guru
untuk merencanakan latihan-latihan berikut sekaligus menetapkan rencana
berikutnya.
Demikian tiga pokok dalam proses
supervisi klinik. Ketiga tahap ini sebenarnya berbentuk siklus, yaitu tahap
pertemuan awal, tahap observasi mengajar, dan tahap pertemuan balikan. Rincian
ketiga tahap ini telah dibahas di muka, dan terangkum dalam gambar 6.1 berikut
ini.
Sumber : Didapatkan dari Alexander Mackie College of Advance Education
(1981). Supervision Of Practice Teaching, Primary, Sydney, Australia,
Halaman 2.
Gambar 7.1
Siklus Supervisi Klinis
KLINIK
<table cellpadding="0" cellspacing="0" width="100%"> <tr> <td> Kompetensi Dasar Menguasai konsep supervisi klinik dan mampu melaksanakannya dalam tugas kepengawasan. </td> </tr> </table> | |
<table cellpadding="0" cellspacing="0" width="100%"> <tr> <td> Indikator Kompetensi 1. Mampu menjelaskan konsep supervisi klinik 2. Mampu menerapkan langkah-langkah supervisi klinik dalam membantu guru mengefektifkan proses pembelajaran. </td> </tr> </table> |
A. Konsep Supervisi Klinik
Supervisi
klinik, mula-mula diperkenalkan dan dikembangkan oleh Morris L. Cogan, Robert
Goldhammer, dan Richarct Weller di Universitas Harvard pada akhir dasa warsa
lima puluh tahun dan awal dasawarsa enam puluhan (Krajewski) 1982). Ada dua
asumsi yang mendasari praktek supervisi klinik. Pertama, pengajaran merupakan
aktivitas yang sangat kompleks yang memerlukan pengamatan dan analisis secara
berhati-hari melalui pengamatan dan analisis ini, supervisor pengajaran akan
mudah mengembangkan kemampuan guru mengelola proses pembelajaran. Kedua,
guru-guru yang profesionalnya ingin dikembangkan lebih menghendaki cara yang
kolegial daripada cara yang outoritarian (Sergiovanni, 1987).
Pada mulanya,
supervisi klinik dirancang sebagai salah satu model atau pendekatan dalam
melakukan supervisi pengajaran terhadap calon guru yang sedang berpraktek
mengajar. Dalam supervisi ini ditekanannya pada klinik, yang diwujudkan adalah
bentuk hubungan tatap muka antara supervisor dan calon guru yang sedang
berpraktek, Cogan (1973) mendefinisikan supervisi klinik sebagai berikut :
The rational and practice designed to improve the
teacher’supervisi classroom performance. It takes its principal data from the
events of the classroom. The analysis of these data and the relationships
between teacher and supervisor from the basis of the program, procedures, and
strategies designed to improve the student’supervisi learning by improving the
teacher’supervisi classroom behavior (Cogan 1973, halaman 54).
Sesuai dengan pendapat Cogan ini,
supervisi klinik pada dasarnya merupakan pembinaan performansi guru mengelola
proses belajar mengajar. Pelaksanaannya didesain dengan praktis secara
rasional. Baik desainnya maupun pelaksanaannya dilakukan atas dasar analisis
data mengenai kegiatan-kegiatan di kelas. Data dan hubungan antara guru dan
supervisor merupakan dasar program prosedur, dan strategi pembinaan perilaku
mengajar guru dalam mengembangkan belajar murid-murid. Cogan sendiri menekankan
aspek supervisi klinik pada lima
hal, yaitu (1) proses supervisi klinik, (2) interaksi antara calon guru dan
murid, (3) performansi calon guru dalam mengajar, (4) hubungan calon guru
dengan supervisor, dan (5) analisis data berdasarkan peristiwa aktual di kelas.
Tujuan supervisi klinik adalah untuk
membantu memodifikasi pola-pola pengajaran yang tidak atau kurang efektif.
Menurut Sergiovanni (1987) ada dua sasaran supervisi klinik, yang menurut
penulis merefleksi multi tujuan supervisi klinik, yang menurut penulis
merefleksi multi tujuan supervisi pengajaran, khususnya pengembangan
profesional dan motivasi kerja guru, sebagaimana telah dikemukakan dalam bab I.
Di satu sisi, supervisi klinik dilakukan untuk membangun motivasi dan komitmen
kerja guru. Di sisi lain, supervisi klinik dilakukan untuk menyediakan
pengembangan staf bagi guru. Sedangkan menurut dua orang teoritisi lainnya,
yaitu Acheson dan Gall (1987) tujuan supervisi klinik adalah meningkatkan
pengajaran guru dikelas. Tujuan ini
dirinci lagi ke dalam tujuan yang lebih spesifik, sebagai berikut.
1.
Menyediakan
umpan balik yang obyektif terhadap guru, mengenai pengajaran yang
dilaksanakannya.
2.
Mendiagnosis dan
membantu memecahkan masalah-masalah pengajaran.
3.
Membantu guru
mengembangkan keterampilannnya menggunakan strategi pengajaran.
4.
Mengevaluasi
guru untuk kepentingan promosi jabatan dan keputusan lainnya.
5.
Membantu guru
mengembangkan satu sikap positif terhadap pengembangan profesional yang
berkesinambungan.
Demikianlah sekilas konsep spuervisi
klinik bila disimpulkan, maka karakteristik supervisi klinik sebagai berikut ;
supervisi klinik berlangsung dalam bentuk hubungan tatap muka antara supervisor
dan guru, tujuan supervisi klinik itu adalah untuk pengembangan profesional
guru. Kegiatan supervisi klinik ditekankan pada aspek-aspek yang menjadi
perhatian guru serta observasi kegiatan pengajaran di kelas, observasi harus
dilakukan secara cermat dan mendetail, analisis terhadap hasil observasi harus
dilakukan bersama antara supervisor dan guru dan hubungan antara supervisor dan
guru harus bersifat kolegial bukan autoritarian.
B.
Langkah-Langkah
Supervisi Klinik
Penjelasan konsep supervisi klinik dan
beberapa hasil penelitian tentang keefektifannya membawa kita untuk menyakini
betapa pentingnya supervisi klinik sebagai satu pendekatan dalam mengembangkan
pengajaran guru. Sudah seharusnyalah setiap supervisor pengajaran berusaha
untuk menerapkannya bagi guru-guru yang menjadi kawasan tanggung jawabnya.
Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana prosedurnya.
Menurut Cogan (1973) ada delapan kegiatan
dalam supervisi klinik yang dinamainya dengan siklus supervisi klinik. Di sini
istilah siklus mengandung dua pengertian pertama., prosedur supervisi klinik
terdiri dari sejumlah tahapan yang merupakan proses yang berkesinambungan.
Kedua, hasil pertemuan tahap akhir menjadi masukan untuk tahap pertama pada
siklus berikutnya. Kedelapan tahap yang dikemukakan oleh Cogan adalah sebagai
berikut (1) tahap membangun dan memantapkan hubungan guru-supervisor, (2) tahap
perencanaan bersama guru, (3) tahap perencanaan strategi observasi, (4) tahap
observasi pengajaran, (5) tahap analisis proses pembelajaran, (6) tahap
perencanaan strategi pertemuan, (7) tahap pertemuan, dan (8) tahap penjajakan
rencana pertemuan berikutnya.
Menurut Mosher dan Purpel (1972) ada tiga
aktivitas dalam proses supervisui klinik, yaitu (1) tahap perencanaan, (2)
tahap observasi, dan (3) tahap evaluasi dan analisis. Menurut Oliva (1984) ada
tiga aktivitas esensial dalam proses supervisi klinik, yaitu (1) kontak dan
komunikasi dengan guru untuk merencanakan observasi kelas (2) observasi kelas,
dan (3) tindak lanjut observasi kelas. Sedangkan menurut Goldhammer, Anderson, dan Krajewski (1981) ada lima kegiatan dalam proses supervisi klinik,
yang disebutnya dengan sequence of supervision, yaitu (1) pertemuan sebelum
observasi (2) observasi, (3) analisis dan strategi, (4) pertemuan supervisi,
dan (5) analisis sesudah pertemuan supervisi.
Demikianlah, walaupun berbeda deskripsi
pada para teriotisi di atas tentang langkah-langkah proses supervisi klinik,
sebenarnya langkah-langkah ini bisa dikembalikan pada tiga tahap esensial yang
berbentuk siklus, yaitu (1) tahap pertemuan awal, (2) tahap observasi mengajar,
dan (3) tahap pertemuan balikan. Dalam buku ajar sederhana ini penulis lebih cenderung membagi
siklus supervisi klinik menjadi tiga tahap juga sebagaimana tersebut di atas.
Deskripsi demikian juga dikemukakan oleh Acheson dan Gall (1987), Alexander Mackie College
of advanced Education (1981) dan Mantja (1984).
1.
Tahap Pertemuan Awal
Tahap pertama dalam proses supervisi
klinik adalah tahap pertemuan awal (preconference). Pertemuan awal ini
dilakukan sebelum melaksanakan observasi kelas sehingga banyak juga para
teoritisi supervisi klinik yang menyebutkan dengan istilah tahap pertemuan
sebelum observasi (preobservation Conference). Menurut Sergiovanni (1987) tidak
ada tahap yang lebih penting daripada tahap pertemuan awal ini.
Tujuan utama pertemuan awal ini adalah
untuk mengembangkan, bersama antara supervisor dan guru, kerangka kerja
observasi kelas yang akan dilakukan. Hasil akhir pertemuan awal ini adalah
kesepakatan (contract) kerja antara supervisor dan guru. Tujuan ini bisa
dicapai apabila dalam pertemuan awal ini tercipta kerja sama, hubungan
kemanusian dan komunikasi yang baik antara supervisor dengan guru. Selanjutnya
kualitas hubngan yang baik antara supervisor dan guru memiliki pengaruh
signifikan terhadap kesuksesan tahap berikutnya dalam proses supervisi klinik. Oleh sebab itu para
teoritisi banyak menyarankan agar pertemuan awal ini, dilaksanakan secara
rileks dan terbuka. Perlu sekali diciptakan kepercayaan guru terhadap
supervisor, sebab kepercayaan ini akan mempengaruhi efektivitas pelaksanaan
pertemuan awal ini. Kepercayaan ini berkenaan dengan kenyakinan guru bahwa
supervisor memperhatikan minat atau perhatian guru.
Pertemuan
pendahuluan ini tidak membutuhkan waktu yang lama. Dalam pertemuan awal ini
supervisor bisa menggunakan waktu 20 sampai 30 menit, kecuali jika guru
mempunyai permasalahan khusus yang membutuhkan diskusi panjang. Pertemuan ini
sebaiknya dilaksanakan di satu ruangan yang netral, misalnya kafetaria, atau
bisa juga di kelas. Pertemuan di ruang kepala sekolah atau supervisor
kemungkinannya akan membuat guru menjadi tidak bebas. Secara teknis, ada
delapan kegiatan yang harus dilaksanakan dalam pertemuan awal ini, yaitu (1)
menciptakan suasana yang akrab dan terbuka, (2) mengidentifikasi aspek-aspek
yang akan dikembangkan guru dalam pengajaran. (3) menerjemahkan perhatian guru
ke dalam tingkah laku yang bisa diamati, (4) mengidentifikasi prosedur untuk
memperbaiki pengajaran guru, (5) membantu guru memperbaiki tujuannya sendiri
(6) menetapkan waktu observasi kelas, (7) menyeleksi instrumen observasi kelas,
dan (8) memperjelas konteks pengajaran dengan melihat data yang akan direkam.
Goldhammer,
Anderson, dan Krajewski (1981) mendeskripsikan satu agenda yag harus dihasilkan
pada akhir pertemuan awal. Agenda
tersebut adalah :
a.
Menetapkan
kontrak atau persetujuan antara supervisor dan guru tentang apa saja yang akan
diobservasi.
1)
Tujuan
instruksional umum dan khusus pengajaran
2)
Hubungan tujuan
pengajaran dengan keseluruhan program pengajaran yang diimplementasikan.
3)
Aktivitas yang
akan diobservasi
4)
Kemungkinan
perubahan formal aktivitas, sistem, dan unsur-unsur lain berdasarkan
persetujuan interaktif antara supervisor dan guru.
5)
Deskripsi
spesifik butir-butir atau masalah-masalah yang balikannya diinginkan guru.
b.
Menetapkan
mekanisme atau aturan-aturan observasi meliputi :
1)
Waktu (jadwal)
observasi
2)
Lamanya
observasi
3)
Tempat observasi
c.
Menetapkan
rencana spesifik untuk melaksanakan observasi meliputi:
1)
Dimana
supervisor akan duduk selama observasi
2)
Akankah
supervisor menjelaskan kepada murid-murid mengenai tujuan observasinya jika
demikian, kapan sebelum ataukah setelah pelajaran.
3)
Akankah
supervisor mencari satu tindakan khusus.
4)
Akankah
supervisor berinteraksi dengan murid-murid
5)
Perlukah adanya
material atau persiapan khusus
6)
Bagaimanakah
supervisor akan mengakhiri observasi
2.
Tahap Observasi Pembelajaran
Tahap kedua dalam proses supervisi
klinik adalah tahap observasi mengajar secara sistematis dan obyektif.
Perhatian observasi ini ditujukan pada guru dalam bertindak dan
kegiatan-kegiatan kelas sebagai hasil tindakan guru. Waktu dan tempat observasi
mengajar ini sesuai dengan kesepakatan bersama antara supervisor dan guru pada
waktu mengadakan pertemuan awal.
Observasi mengajar, mungkin akan terasa
sangat kompleks dan sulit, dan tidak jarang adanya supervisor yang mengalami
kesulitan. Dengan demikian supervisor dituntut untuk menggunakan bermacam-macam
ketrampilan. Menurut Daresh (1989) ada dua aspek yang harus diputuskan dan
dilaksanakan oleh supervisor sebelum dan sesudah melaksanakan observasi
mengajar, yaitu menentukan aspek-aspek yang akan diobservasi mengajar dan
bagaimana cara mengobservasinta.Aspek-aspek yang akan diobservasi harus sesuai
dengan hasil diskusi antara supervisor dan guru pada waktu pertemuan awal.
Aliva (1984) menegaskan sebagai berikut :
If we follow through with the cycle of clinical
supervisor the teacher and supervisor in the preobservation conference have
decided on the specific behaviors of teacher and students which the supervisor
will observe. The supervisor concentrates on the presence or absence of the
spesific behaviors (Oliva : 1984, halaman 502).
Sedangkan mengenai bagaimana
mengobservasi juga perlu mendapatkan perhatian. Maksud baik supervisi akan
tidak berarti apabila usaha-usaha observasi tidak bisa memperoleh data yang
seharusnya diperoleh. Tujuan utama pengumpulan data adalah untuk memperoleh
informasi yang nantinya akan digunakan untuk mengadakan tukar pikiran dengan
guru setelah observasi aktivitas yang telah dilakukan di kelas. Di sinilah
letak pentingnya teknik dan instrumen oberservasi yang bisa digunakan untuk mengobservasi
guru mengelola proses belajar mengajar.
Sehubungan dengan teknik dan instrumen
ini, sebenarnya pada peneliti telah banyak yang mengembangkan bermacam-macam
teknik yang bisa digunakan dalam mengobservasi
pengajaran. Acheson dan Gall (1987)
mereview beberapa teknik dan mengajurkan kita untuk menggunakannya dalam
proses supervisi klinis beberapa teknik tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Selektive verbatim. Di sini supervisor membuat semacam rekaman tertulis, yang bisa dibuat
dengan a verbatim transcript. Sudah barang tentu tidak semua kejadian verbal
harus direkam dan sesuai dengan kesepakatan bersama antara supervisor dan guru
pada pertemuan awal, hanya kejadian-kejadian tertentu yang harus direkam secara
selektif. Transkrip ini bisa ditulis langsung berdasarkan pengamatan dan bisa
juga menyalin dari apa yang direkam terlebih dahulu melalui tape recorder.
b.
Rekaman observasional berupa a seating chart. Di sini, supervisor mendokumentasikan perilaku-perilaku
murid-murid sebagaimana mereka berinteraksi dengan seorang guru selama
pengajaran berlangsung. Seluruh kompleksitas perilaku dan interaksi di
deskripsikan secara bergambar. Melalui penggunaan a seating chart ini,
supervisor bisa mendokumentasikan secara grafis interaksi guru dengan
murid-murid dengan murid. Sehingga dengan mudah diketahui apakah guru hanya
berinteraksi dengan semua murid atau hanya dengan sebagian murid, apakah semua
murid atau hanya sebagian murid yang terlibat proses belajar mengajar.
c.
Wide-lens techniques. Di sini supervisor
membuat catatan yang lengkap mengenai kejadian-kejadian di kelas dan cerita
yang panjang lebar. Teknik ini bisa juga
disebut dengan anecdotal record.
d.
Checkliss and timeline coding. Di sini supervisor mengobservasi dan mengumpulkan
data perilaku belajar mengajar.Perilaku pembelajaran ini sebelumnya telah
diklasifikasi atau dikategorikan. Contoh yang paling baik prosedur ini dalam
observasi supervisi klinik adalah skala analisis interaksi Flanders (Flanders; 1970). Dalam analisis ini, aktivitas kelas
diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu pembicaraan guru,
pembicaraan murid dan tidak ada pembicaraan (silence), Tabel 7.1 merupakan satu
contoh analisis interaksi Flanders.
Tabel
7.1 Kategori Analisis Interaksi Franders
Guru Berbicara | Respons | 1. perasaan menerima. Menerima dan mengklasifikasi sikap atau perasaan murid dalam cara yang tidak menakutkan. Perasaan ini bisa positif atau negatif. 2. Penghargaan dan dorongan.Penghargaan dan dorongan terhadap murid, misalnya dengan mengatakan “um hum” atau teruskan. Ini merupakan upaya menghindari ketegangan. 3. Menerima atau menggunakan ide murid. Menjawab pembicaraan murid. Mengklasifikasi, membangun, atau mengajukan pertanyan berdasarkan ide-ide murid. |
| 4. Bertanya. Bertanya tentang isi dan prosedur, berdasarkan ide guru, dengan maksud murid akan menjawabnya. | |
Inisiasi | 5. Berceramah. Mengemukakan fakta atau opini tentang isi atau prosedur: mengekspresikan idenya sendiri, memebrikan penjelasan sendiri 6. Memberikan petunjuk. Memberi petunjuk, komando, perintah, di mana murid melakukan 7. Mengkritik. Mengemukakan sesuatu untuk mengubah perilaku murid dari pola yang tak diterima menjadi pola yang diterima. | |
| Respons | 8. Murid berbicara-merespons. Murid berbicara untuk merespons kontak guru yang situasinya terbatas |
| | 9. Murid berbicara-inisiasi. Murid mengemukakan idenya baik secara spontan maupun dalam sosialisasi guru. Kebebasan mengembangkan opini atau pemikiran; berjalan di luar struktur yang ada. |
| Inisiasi | 10. Kesunyian atau kebingungan. Istirahat, kesunyian sebentar, kebingunan karena komunikasi tidak bisa dimengerti pengamat. |
Sumber: Acheson, K.A dan Gall, M.D (1987). Techniques in the the
Clinical Supervision of Teachers. White
Plains, N.Y., Longman
Checlist lainnya yang bisa digunakan
untuk mengarahkan observasi pengajaran adalah apa yang disebut dengan istilah
timeline coding technique yang telah dikembangkan sejak 20 tahun yang lalu,
yang memang didesain untuk mempelajari strategi pengajaran. Di sini, supervisor
mencatat perilaku guru maupun murid dalam waktu-waktu tertentu yang telah
ditetapkan sebelumnya selama waktu-waktu tertentu ditetapkan sebelumnya
disediakan selama proses pembelajaran. Teknik ini bisa disediakan data terhadap
guru yang mereka rasa harus diobservasi dan dikembangkan. Instrumen ini bisa
mengarahkan supervisor dalam observasinya dan menyediakan balikan yang spesifik
dalam klasifikasi waktu yang diinginkan.
Demikianlah beberapa teknik yang telah
direview oleh Acheson dan gall telah dikemukakan, bisa digunakan untuk
mengarahkan dan mempermudah tahap observasi dalam proses supervisi klinik.
Supervisor yang efektif seharusnya menyadari adanya beberapa teknik ini dan
berusaha memiliki satu atau lebih teknik sesuai dengan perhatian guru yang akan
diobservasi. Namun sayangnya, menurut
Daresh (1989), dengan melihat dari waktu ke waktu, yang terjadi justru
sebaliknya. Dan banyak hal, supervisor hanya belajar satu teknik observasi yang
disukainya, misalnya teknik analisis Interaksi Flanders, dan menggunakannya
setiap teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Akan tetapi
kelebihan-hkelebihan setiap teknik dengan cepat akan hilang apabila supervisor
lebih berwawasan terhadap hanya satu teknik yang dipahami dan disukai dengan
tidak mengikuti perhatian pengajaran guru.
3.
Tahap
Pertemuan Balikan
Tahap ketiga dalam proses supervisi
klinik adalah tahap pertemuan balikan. Pertemuan balikan dilakukan segera
setelah melaksanakan observasi pengajaran, dengan terlebih dahulu dilakukan
analisis terhadap hasil observasi. Tujuan utama pertemuan balikan ini adalah
ditindaklanjuti apa saja yang dilihat oleh supervisor, sebagai onserver,
terhadap proses belajar mengajr. Pembicaraan dalam pertemuan balikan ini adalah
ditekankan pada identifikasi dan analisis persamaan dan perbedaan antara
perilaku guru dan murid yang direncanakan dan perilaku aktual guru dan murid,
serta membuat keputusan tentang apa dan bagaimana yang seharusnya akan
dilakukan sehubungan dengan perbedaan yang ada.
Pertemuan balikan ini merupakan tahap
yang penting untuk mengembangkan perilaku guru dengan cara memberikan balikan
tertentu. Balikan ini harus deskriptif, spesifik, konkrit, bersifat memotivasi,
aktual, dan akurat sehingga betul-betul bermanfaat bagi guru (Sergiovanni,
1987). Paling tidak ada lima manfaat pertemuan balikan bagi guru,s ebagaimana
dikemukakan oleh Goldhammer, Anderson, dan Krajewski (1981), yaitu , (1) guru
bisa diberik penguatan dan kepuasan, sehingga bisa termotivasi dalam kerjanya,
(2) isu-isu dalam pengajaran bisa didefinisikan bersama supervisor dan guru
dengan tepat, (3) supervisor bila mungkin dan perlu, bisa berupaya
mengintervensi secara langsung guru untuk memberikan bantuan didaktis dan
bimbingan, (4) guru bisa dilatih dengan teknik ini untuk melakukan supervisi
terhadap dirinya sendiri, dan (5) guru busa diberi pengetahuan tambahan untuk
meningkatkan tingkat analisis profesional diri pada masa yang akan datang.
Tentunya sebelum mengadakan pertemuan
balikan ini supervisor terlebih dahulu menganalisa hasil observasi dan
merencanakan bahan yang akan dibicarakan dengan guru. Begitu pula diharapkan
guru menilai dirinya sendiri. Setelah itu dilakukan pertemuan balikan ini. Dalam pertemuan balikan
ini sangat diperlukan adanya keterbukaan antara supervisor dan guru. Sebaiknya,
pertama-tama supervisor menanamkan kepercayaan pada diri guru bahwa pertemuan
balikan ini bukan untuk menyalahkan guru melainkan untuk memberikan masukan
balikan. Oleh sebab banyak para teoritisi yang menganjurkan agar pertama-tama
yang harus dilakukan oleh supervisor dalam setiap pertemuan balikan adalah
memberikan penguatan (reinforcement) terhadap guru. Baru setelah melanjutkan
dengan analisis bersama setiap aspek pengajaran yang menjadi perhatian
supervisi klinis. Berikut ini beberapa langkah penting yang harus dilakukan
selama pertemuan balikan.
a.
Menanyakan perasaan
guru secara umum atau kesannya terhadap pengajaran yang dilakukan, kemudian
supervisor berusaha memberikan penguatan (reinforcement).
b.
Menganalisa pencapaian tujuan pengajaran. Di sini
supervisor bersama guru mengidentifikasi perbedaan antara tujuan pengajaran
yang direncanakan dan tujuan pengajaran yang dicapai.
c.
Menganalisa target keterampilan dan perhatian utama guru.
Di sini (supervisor bersama guru mengidentifikasi target ketrampilan dan
perhatian utama yang telah dicapai dan yang belum dicapai. Bisa jadi pada saat
ini supervisor menunjukkan hasil rekaman observasi, sehingga guru mengetahui
apa yang telah dilakukan dan dicapai, dan yang belum sesuai dengan target
ketrampilan dan perhatian utama guru sebagaimana disepakati pada tahap
pertemuan awal. Apabila dalam kegiatan observasi supervisor merekam proses
belajar mengajar dengan alat elektronik, misalnya dengan menggunakan alat
syuting, maka sebaiknya hasil rekaman ini dipertontonkan kepada guru sehingga
ia dengan bebas melihat dan menafsirkannya sendiri.
d.
Supervisor
menanyakan perasaannya setelah enganalisis target keterampilan dan perhatian
utamanya.
e.
Menyimpulkan
hasil dari apa yang telah diperolehnya selama proses supervisi klinik. Disini
supervisi memberikan kesempatan kepada guru untuk menyimpulkan target
keterampilan dan perhatian utamanya yang telah dicapai selama proses supervisi
klinis.
f.
Mendorong guru
untuk merencanakan latihan-latihan berikut sekaligus menetapkan rencana
berikutnya.
Demikian tiga pokok dalam proses
supervisi klinik. Ketiga tahap ini sebenarnya berbentuk siklus, yaitu tahap
pertemuan awal, tahap observasi mengajar, dan tahap pertemuan balikan. Rincian
ketiga tahap ini telah dibahas di muka, dan terangkum dalam gambar 6.1 berikut
ini.
Sumber : Didapatkan dari Alexander Mackie College of Advance Education
(1981). Supervision Of Practice Teaching, Primary, Sydney, Australia,
Halaman 2.
Gambar 7.1
Siklus Supervisi Klinis