хХх::[Dunia Remaja Indonesia]::хХх
MAAF, FORUM DUNIA REMAJA INDONESIA PINDAH KE http://nadakeras.taro.tv/forum

Join the forum, it's quick and easy

хХх::[Dunia Remaja Indonesia]::хХх
MAAF, FORUM DUNIA REMAJA INDONESIA PINDAH KE http://nadakeras.taro.tv/forum
хХх::[Dunia Remaja Indonesia]::хХх
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
хХх::[Dunia Remaja Indonesia]::хХх

Situs/Web/Forum/Blog dan Komunitas Remaja (Indonesian Only)


You are not connected. Please login or register

Sasaran Pendidikan Menurut Imam Ghozali

Go down  Message [Halaman 1 dari 1]

ralqis

ralqis
[DRI] Pendiri

Sasaran Pendidikan Menurut
Imam Ghazali









Annemarie Schimmel, seorang Islamolog asal Jerman di depan ratusan peminat
tasawuf di Aula Perpustakaan Nasional Jakarta yang dipandu oleh Dr. Mulyadi
Kartanegara, Dr. Haidar Bagir dan Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc., mengucapkan
komentar “Orang Barat lebih mengenal Rumi (Jalaluddin Rumi) dari pada Islam
atau Al Quran”.

Pujian yang tidak kalah menarik juga lahir dari Islamolog Jerman lain kepada
Imam Ghazali, katanya, “Kalau ada nabi lagi setelah Muhammad, maka
al-Ghazalilah orangnya.”

Layaknya beralasan, bila Islamolog sekaliber Annemarie mengatakan demikian
karena berangkat dari kekagumannya pada pemikiran al-Ghazali secara
konprehenshif. Betapa tidak, al-Ghazali adalah manusia fenomenal yang hidup
dalam gelimang multiaspek dan dinamika kehidupan, yang saat itu puncak
peradaban Islam sedang “mencakar” ketinggian langit.

Dalam kekuasaan Islam yang merengkuh hampir seluruh untaian benua, muncul
kecemerlangan pemikiran — yang pada zamannya hingga saat ini — seluruh mata
hampir tak pernah lepas mencermati tokoh ini. Pusat-pusat kajian keislaman
kampus-kampus Eropa hampir tidak dapat melepaskan kajiannya tentang al-Ghazali.

Al-Ghazali punya peran yang luar biasa, spesial dalam bidang tasawuf, tetapi
juga tidak bisa terpisah dari keahliannya dalam berbagai ilmu.

Saya yakin bahwa studi tentang al-Ghazali tidak akan bisa dibahas dalam
seminggu atau satu bulan karena al-Ghazali adalah seorang tokoh yang
multidimensi, bahkan pemikirannya menjalar pada supra pemikiran yang lebih
luas.

Dalam artikel singkat ini, kita
akan menyusuri pemikiran al-Ghazali seputar sistem pendidikan Islam. Saya
mengharapkan akan lahir perdebatan dan kontribusi pemikiran mengapresiasi sosok
pemikir yang karyanya membanjiri “ladang-ladang pengetahuan” dan menyentuh
seluruh aspek keilmuan ini. Seluruh pesantren salaf dan khalaf dibelahan
nusantara Indonesia, sejak dari Sabang hingga Merauke, tak pernah lepas dari
kajian kitab “Ihya Ulumuddin”, “Al-Mushtashfa” dsb karena dari nama asal
al-Ghazali saja konon telah terjadi perdebatan panjang yang dilontarkan oleh
beberapa penulis biografi tradisional awal.

Sekilas al-Ghazali

Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad al-Thusi al-Ghazali
adalah seorang fuqaha terkemuka, teolog, dan sufi, dilahirkan pada
450/1058 di Thus, kini dekat Masyhad, Khurasan, yang sebelum masa hidupnya,
telah menghasilkan begitu banyak sufi terkenal sehingga Hujwiri (w 464/1071)
menyebutnya sebagai tanah “dimana bayangan kemurahan Tuhan mengayomi” dan “di
mana matahari cinta dan keberuntungan Jalan Sufi berkuasa”.

Sejak kecil beliau dikenal sebagai
anak yang mencintai ilmu pengetahuan. Ia belajar kepada sejumlah guru seperti
Ahmad Ibn Muhammad al-Radzikani hingga Imam al-Juwaini, Imam Haramain, rektor
Nizhamiyah 3 di Naisapur. Beliau belajar fikih pada pamannya, Ahmad (w. 1126)
dan Abu Nashr al-Ismaili. 4

Kecerdasan al-Ghazali membuat
kagum al-Juwaini dan diberi gelar bahrun muqriq (lautan yang menenggelamkan).
Seusai belajar di Naisabur beliau menuju ke Bagdad dan menjadi guru besar di
universitas yang didirikan oleh Nizhamul Mulk, perdana menteri sultan Bani
Saljuk yang ditakdirkan memainkan peran menonjol dalam kehidupan intelektual
al-Ghazali.

Beliau besar dilingkungan
pendidikan serta agama yang kuat dari berbagai tokoh dan ulama besar lain saat
itu. Di samping itu, beliau hidup di sebuah negara (Iran) yang secara tradisi
keilmuan tetap dinamis dan terpelihara sejak kurun abad awal hingga kini,
berbeda dari Bizantium Romawi dan Yunani yang telah runtuh di bawah puing-puing
peradabannya.

Al-Ghazali bertugas sebagai guru
besar hanya selama empat tahun, kemudian ia menetap di Syam. Dari sana beliau
kembali ke Bagdad, lalu ke Naisabur sebagai guru, dengan menulis karya-karya
monumental hingga meninggal dunia di kota kelahirannya pada 1111 M.

Karya-karya terpenting al-Ghazali
dalam bidang pendidikan (tarbiyah) antara lain: Fatihatul Ulum, Ayyuhal Walad,
Ihya ‘Ulumuddin, Mizanul Amal, Al-Risalah al-Laduniyyah, Miskat al-Anwar,
Tahafut al-Falasifah, dan Mi’yar al-’Ilm. Ihya Ulumuddinlah yang menjadi karya
“abadi” tambatan kaum sufi dalam mencari “jalan menuju Tuhan”. Ihya Ulumuddin
dari awal sampai akhir pada hakikatnya membahas masalah akhlak, dengan pusat
kajian di dalamnya berkenaan dengan tarbiyatun nafs (tahdzibun nafs), yakni
aspek pendidikan, yang kian terabaikan, kalau tidak dikatakan terlupakan.

Melalui karya ini, al-Ghazali
berusaha menggabungkan filsafat yang rasional, tasawuf yang emosional
(ortodoksi) dan fikih yang berada di antara keduanya. Inilah a orisinal
al-Ghazali dalam beberapa disiplin ilmu yang ia cetuskan.

Krisis intelektual al-Ghazali

Krisis intelektual al-Ghazali
patut kita cermati karena sangat berkaitan dengan sistem pendidikan yang
kemudian ia gulirkan. Perkenalan al-Ghazali dengan klaim-klaim metodologis
mutakalimun, filosof ta’limiyah, dan sufi memberikan andil sebagai penyebab
krisis pribadinya yang pertama.

Sifat sesungguhnya dari krisis
ini bersifat epistemologis karena pada dasarnya merupakan krisis mencari tempat
yang tepat bagi daya-daya mengetahui (kognitif) dalam skema total pegetahuan.
Khususnya, krisis ini merupakan krisis dalam menetapkan hubungan yang tepat
antara akal dan intuisi intelektual. Ia bingung lantaran pertentangan
mutakallimun dan filosof, dan keandalan pengalaman suprarasional pada kaum sufi
dan Ta’limiyah. Ia bahkan ragu dalam menggunakan indra dan data rasional untuk
pembuktian.

Ia menegaskan bahwa kemudian
keterbebasannya dari krisis tersebut bukan melalui argumen rasional atau bukti
rasional, melainkan sebagai akibat dari cahaya (nur) yang disusupkan
(disisipkan) Tuhan ke dalam dadanya (penegasan bahwa intuisi intelektual
bersifat superior terhadap akal). Lahirlah Maqasid al-Falasifah sebuah
mukaddimah Tahafut. Tahafut sesungguhnya berisi polemik negatif terhadap
filsafat al-Farabi dan Ibn Sina. Tahafut inilah yang kemudian melumpuhkan
filsafat rasionalistik dan menghabisi karier filsafat sebagai disiplin yang
berbeda dari gnosis dan teologi di seluruh wilayah Arab dunia Islam.

Hal yang menarik adalah bahwa Ghazali meletakkan dasar yang kuat bagi
kerangka berpikir/logika yang benar dalam berdebat, berpolemik. Artinya, beliau
menolak serta melumpuhkan filsafat rasionalistik dengan kaidah dan cara serta
metodologi filsafat yang rasionalistik pula. Kerangka ini, yang menurut hemat
penulis, tak lagi digunakan ketika mematahkan lawan berpikir kita dalam
berbagai alur wacana pemikiran yang ada. Dengan kata lain menilai paham dan
pemikiran orang lain dengan kacamata sendiri, walaupun kemudian, dengan nada
minor menyebutkan al-Ghazali memiliki andil terhadap keterpurukan atau masa
stagnasi pemikiran filsafat saat itu. Bahkan menambahkan tertutupnya kran
ijtihad pada tataran fikih atau ra’yu (akal).

Krisis spiritual al-Ghazali

Otobiografi al-Ghazali juga mencatat krisis kedua dari studi sufismenya.
Telaah-telaahnya terhadap karya al-Muhasibi, Al-Junaid, al-Syibli, Al-Basthami
dan pamannya Ahmad, melahirkan krisis yang jauh lebih serius dari krisis
pertamanya.

Ia meninggalkan hingar-bingar dunia, hidup asketik (zuhud) dan kontemplatif
(tafakur). Al-Ghazali benar-benar hanyut dalam aliran sufistik. Dari sinilah
lahir Ihya dan Kimiya’i sa’adat sebuah kapsul waktu pengajaran langkah praktis
tentang akhlak, sebagai atmosfer yang mengarahkan manusia pada penekanan
dimensi esoteris (bathini).

Pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan

Ada dua alat pokok yang dapat digunakan untuk mencapai setiap sasaran
pendidikan: Pertama, aspek pengetahuan yang harus dikuasai pelajar atau dengan
kata lain kurikulum pelajaran yang harus dipelajarinya. Kedua, metode penyajian
mata pelajaran atau materi kurikulum.

Sasaran pendidikan menurut al-Ghazali telah dilukiskan sejalan dengan
pandangannya tentang hidup dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, artinya
sejalan dengan filsafatnya, yang menggabungkan antara potensi sukma dhulani dan
sukma dzahiri.

Akal manusia karena merupakan alat untuk memperoleh ilmu, maka al-Ghazali
memberikan tempat yang terhormat baginya. Akal ia jadikan sebagai objek kajian
khusus, sinergis terhadap hadits nabi : Addienu huwa al-Aql, laa diena liman
laa aqla lahu (agama adalah akal, tiada beragama bagi mereka yang tidak
menggunakan akalnya), sebagaimana ia lakukan terhadap tabiat dan kekuatan
bawaan manusia.

Menurutnya, puncak kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran akal dan
hati dalam membina ruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah
kesempurnaan akhlak manusia, dengan membina ruhnya. Hal ini berlandaskan pada
firman Allah SWT, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar mempunyai akhlak
yang sangat agung”. (QS. 68 : 4). Dan sabda Rasul saw : Innama bu’itstu
liutammima makarimal akhlak.

Al-Ghazali menjelaskan bahwa akhlak berakar pada dua pengertian, khalq dan
khuluq. Khalq merupakan bentuk basyariah, eksternal (materi manusia), yang
dalam penciptaannya terpaksa. Sementara khuluq (akhlak), bagian internal
manusia adalah aspek yang dapat diatur dalam penciptaannya. Layaknya khalq
(bentuk eksternal) yang sempurna kalau semuanya baik — misalnya wajah cantik
kalau semua anggota wajahnya sempurna — bentuk internal juga demikian.

Dan komponen pendukung sempurnanya insan ialah keseimbangan antara daya intelektual
(kognitif), daya emosi, dan daya nafs, oleh daya penyeimbang. Al-Ghazali
memberikan tamsil dengan menjelaskan orang yang menggunakan akalnya yang
berlebih-lebihan tentu akan akal-akalan, sedang yang ‘menganggurkannya’ akan
jahil. Jadi pendidikan dikatakan sukses membidik sasaran sekiranya mampu
mencetak manusia yang berakhlakul karimah.

Pada tataran praktis, konsep “penyucian hati” dengan malamatiyah al-Ghazali
mendapat tantangan tajam dari sufi modern, terutama setelah di-”selewengkan”
(Lihat : Al-Ghazali, “Pilar-pilar Ruhani”, h. 17-20).

Kurikulum pengajaran dan hierarki ilmu

Al-Ghazali sangat intens dalam membahas tentang ilmu. Menurutnya, ilmu dan
amal merupakan satu mata rantai ibarat setali mata uang yang dengannya manusia
dapat selamat ataupun binasa. Dengan ilmu dan amal pula diciptakan langit dan
bumi beserta segala isinya. “Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti
itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya agar kamu mengetahui sesungguhnya
Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah meliputi
segala sesuatu”. (QS Ath-Thalaq : 12).

Al-Ghazali menyebut empat sistem klasifikasi yang berbeda:

1. Pembagian ilmu menjadi bagian teoretis dan praktis

2. Pembagian pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan yang dicapai
(hushuli)

3. Pembagian ilmu-ilmu religius (sya’iyah) dan intelektual (aqlnyah)

4. Pembagian ilmu menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.

Pembagian yang terakhir didasarkan pada hadis Rasulullah saw., “Menuntut
ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat”. Ilmu yang wajib dituntut oleh
setiap mukallaf ada tiga jenis yakni ilmu tauhid, ilmu batin (sirr) yang
berkaitan dengan kalbu dan jalan-jalannya, ilmu ibadah lahir yang berkaitan
dengan badan dan harta. Ilmu wajib ini yang kian terabaikan dan terlupakan oleh
sebagian Muslimin.

Metode pengajaran

Filosof besar ini menandaskan perlunya memilih metode yang tepat dan sejalan
dengan sasaran pendidikan. Oleh karena itu, al-Ghazali membagi ilmu dalam
beberapa himpunan, bagian-bagian, dan cabang-cabangnya. Berdasarkan hadis Nabi
saw., “Sampaikan ilmu sesuai dengan kadar kemampuan akal”, al-Ghazali
menganjurkan agar filsafat atau ilmu lainnya diberikan sesuai dengan tabiatnya,
sesuai dengan kemampuan dan kesiapan manusia. Tidak seperti “memberi daging
kepada anak kecil”.

Mengingat pendidikan sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara
dua pribadi, yaitu guru dan murid, al-Ghazali dalam tulisan-tulisannya banyak
mengulas tentang hubungan yang mengikat antara keduanya. Menurutnya hubungan
antara guru dan murid sangat menentukan keberhasilan sebuah pendidikan selain
akan memberikan rasa tenteram bagi murid terhadap gurunya.

Pekerjaan mengajar dalam pandangan al-Ghazali adalah pekerjaan yang paling
mulia sekaligus sebagai tugas yang paling agung. Seperti dikemukakannya :
“Makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian tubuh yang
paling berharga adalah hatinya. Adapun guru adalah orang yang berusaha
membimbing, meningkatkan, menyepurnakan serta menyucikan hati, hingga hati itu
menjadi dekat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, mengajarkan ilmu pengetahuan
dapat dilihat dari dua sudut pandang, pertama ia mengajarkan ilmu pengetahuan
sebagai bentuk ibadah kepada Allah, dan kedua menunaikan tugasnya sebagai
khalifah Allah di muka bumi. Dikatakan khalifah Allah karena Allah telah
membukakan hati seorang ‘alim dengan ilmu yang dengan itu pula seorang ‘alim
menampilkan identitasnya.

Kiranya tidak ada lagi martabat yang lebih tinggi selain sebagai perantara
antara hamba dengan makhluk-Nya. Dalam mendekatkan diri kepada Allah,
menggiringnya kepada surga tempat tinggal abadi.

Al-Ghazali menganjurkan agar seorang guru bertindak sebagai seorang ayah
dari seorang muridnya. Bahkan dalam pandangannya hak guru atas muridnya lebih
besar dibandingkan hak orang tua terhadap anaknya. Ayah adalah sebab dari
lahirnya wujud yang fana, sedangkan guru merupakan sebab bagi lahirnya wujud
yang abadi.

Karena guru menunjukkan jalan yang dapat mendekatkannya kepada Allah baik
guru agama maupun guru umum. Kesucian hati seorang guru juga menjadi prioritas
utama, karena seorang guru bagi murid ibarat bayangan kayu. Bayangan tidak
mungkin lurus bila kayunya bengkok.

Komprehensivitas pendidikannya

Al-Ghazali lahir sebagai peletak dasar “perkawinan” multiaspek disiplin
ilmu, seperti kalam, tasawuf, falsafah, dan fikih. Kehidupannya penuh dinamika
yang mencolok dan dihiasi dengan krisis intelektual dan spiritual. Akan tetapi
dalam perjalanan itu, beliau menggoreskan jejak langkah pengajaran sufistik yang
menekankan aspek akhlakul karimah sebagai mainstream dari Ihya, karya
monumentalnya.

Bila kini ahli pendidikan menyebutnya sebagai kurikulum berbasis komptensi,
al-Ghazali jauh sebelumnya telah meletakkan dasar pondasi yang kuat bahwa
perpaduan yang komprehensif dari kekuatan intelektual, emosional, dan spritual,
yang berpadu pada tasawuf, falsafah dan fikih, satu keniscayaan bagi pelaku dan
peserta didik saat ini. Wallahu a’lam.***

https://www.facebook.com/profile.php?id=100001069460412

ralqis

ralqis
[DRI] Pendiri

BAB II. KONSEP PENDIDIKAN ISLAM


Jika makna pendidikan Islam telah terdistorsi
oleh konsep-konsep dari Barat, maka konsepnya sudah tentu bergeser dari konsep
dasar pendidikan Islam. Konsep pendidikan Islam mestinya tidak menghasilkan SDM
yang memiliki sifat zulm, jahl dan junun. Artinya
produk pendidikan Islam tidak akan mengambil sesuatu yang bukan haknya, atau
meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya (zalim), tidak menempuh cara
yang salah dalam mencapai tujuan (jahil) dan tidak salah dalam
menentukan tujuan hidup.


Oleh sebab itu pendidikan Islam harus
di-reorientasikan pada konsep dasarnya, yaitu merujuk kepada pandangan hidup
Islam, yang dimulai dengan konsep manusia. Karena konsep manusia adalah sentral
maka harus dikembalikan kepada konsep dasar manusia yang disebut fitrah.
Artinya pendidikan harus diartikan sebagai upaya mengembangkan individu sesuai
dengan fitrahnya. Seperti yang tertuang dalam al-A’raf, 172 manusia di
alam ruh telah bersyahadah bahwa Allah adalah Tuhannya. Inilah sebenarnya yang
dimaksud hadith Nabi bahwa “manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah..”


Fitrah tidak hanya terdapat pada diri manusia,
tapi juga pada alam semesta. Pada keduanya Allah meletakkan ayat-ayat. Namun
karena fitrah manusia tidak cukup untuk memahami ayat-ayat kauniyyah,
Allah menurunkan al-Qur’an sebagai bekal memahami ayat-ayat pada keduanya. Pada
ketiga realitas tersebut (diri, alam dan kalam Allah yakni al-Qur’an) terdapat
ayat-ayat yang saling berkaitan dan tidak bertentangan. Oleh sebab itu jika
manusia dengan fitrahnya melihat ayat-ayat kauniyyah melalui ayat-ayat
qauliyyah, maka ia akan memperoleh hikmah.


Agar konsep dan praktek pendidikan Islam tidak
salah arah, perlu disusun sesuai dengan fitrah manusia, fitrah alam semesta dan
fitrah munazzalah, yaitu al-Qur’an. Jika proses pendidikan
itu berjalan sesuai dengan fitrah, maka ia akan menghasilkan rasa berkeadilan
dan sikap adil. Adil dalam Islam berarti meletakkan segala sesuatu pada tempat
dan maqamnya. Artinya, pendidikan Islam harus mengandug unsur iman, ilmu dan
amal agar anak didik dapat memilih yang baik dari yang jahat, jalan yang lurus
dari yang sesat, yang benar (haqq) dari yang salah (batil).


Pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada aspek kognitif
(ta’lim) dan meninggalkan aspek afektif (amal dan akhlaq).
Pendidikan yang terlalu intelektualistis juga bertentangan dengan fitrah.
Al-Qur’an mensyaratkan agar fikir didahului oleh zikir (Ali Imran
191). Fikir yang tidak berdasarkan pada zikir hanya akan menghasilkan
cendekiawan yang luas ilmunya tapi tidak saleh amalnya. Ilmu saja tanpa amal,
menurut Imam al-Ghazzali adalah gila dan amal tanpa ilmu itu sombong. Dalam
pendidikan Islam keimanan harus ditanamkan dengan ilmu, ilmu harus berdimensi
iman, dan amal mesti berdasarkan ilmu. Begitulah, pendidikan Islam yang sesuai
dengan fitrahnya, yaitu pendidikan yang beradab


BAB
III. KONSEP PENDIDIKAN UNTUK GENERASI MUSLIM BERKUALITAS



Islam dikenal sebagai agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw. Namun Islam bukanlah hasil ijtihad atau pemikiran beliau saw.
Akan tetapi langsung berasal dari Allah SWT. Di antara agama (syariat) yang
pernah diturunkan Allah, Islam adalah yang agama terakhir yang paling sempurna
seperti firman Allah SWT:


“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu
agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Kuridloi Islam itu
menjadi agama bagimu.” (Qs. Al-Maidah [5]: 3).


Kesempurnaan Islam ditandai antara lain dengan
ketercakupan semua aktivitas manusia di semua aspek kehidupan di dalam
aturan-aturannya, juga kemampuan Islam memecahkan semua masalah yang muncul di
dalamnya. Tidak ada satu perbuatan manusia pun yang tidak ada aturannya dalam
Islam.


Di dalam Islam telah ditetapkan bahwa setiap amal
perbuatan harus terikat dengan aturan Islam. Firman Allah SWT:


“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Qs. Al-Hasyr [59]:
7).


Sabda Rasulullah saw: “Barangsiapa yang melakukan
perbuatan yang tidak didasarkan pada perintah kami, maka tertolak.”


Dengan demikian ajaran Islam sempurna dan kaum
muslimin harus mengikatkan setiap aktivitasnya dengan aturan-aturan Islam yang
sempurna, termasuk juga aktivitasnya dalam membentuk generasi mendatang yang
berkualitas.


A. Tujuan Pendidikan Islam


Pendidikan Islam yang merupakan upaya sadar,
terstruktur, terprogram dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia
yang: (1) memiliki kepribadian Islam, (2) menguasai tsaqofah Islam, (3)
menguasai ilmu pengetahuan (iptek) dan (4) memiliki ketrampilan yang memadai.


1. Membentuk Kepribadian Islam (Syakhshiyyah
Islamiyyah)



“Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian,
sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa-apa (dinul Islam) yang
kubawa” (Hadist Arba’in An-Nawawiyyah)


Kepribadian Islam merupakan konsekuensi keimanan
seorang muslim dalam kehidupannya. Kepribadian Islam seseorang akan tampak pada
pola pikirnya (aqliyah) dan pola sikap dan tingkah lakunya (nafsiyah) yang
distandarkan pada aqidah Islam.


Pada prinsipnya terdapat tiga langkah dalam
pembentukan dan pengembangan kepribadian Islam sebagaiman yang pernah
diterapkan Rasulullah Saw. Pertama, melakukan pengajaran aqidah dengan teknik
yang sesuai dengan karakter aqidah Islam yang merupakan aqidah aqliyyah (aqidah
yang muncul melalui proses perenungan pemikiran yang mendalam). Kedua,
mengajaknya untuk selalu bertekat menstandarkan aqliyyah dan nafsiyyahnya pada
aqidah Islam yang dimilikinya. Ketiga, mengembangkan aqliyyah Islamnya dengan
tsaqofah Islam dan mengembangkan nafsiyyah Islamnya dengan dorongan untuk
menjadi lebih bertaqwa, lebih dekat hubungannya dengan Penciptanya, dari waktu
ke waktu.


Seseorang yang beraqliyyah Islam tidak akan mau
punya pendapat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Semua pemikiran dan
pendapatnya selalu sesuai dengan keislamannya. Tidak pernah keluar pernyataan:
“Dalam Islam memang dilarang, tetapi menurut saya itu tergantung pada pribadi
kita masing-masing.” Harusnya pendapat yang keluar contohnya adalah “Sebagai
seorang muslim, tentu saya berpendapaat hal itu buruk, karena Islam
mengharamkannya.” Ketika ia belum mengetahui bagaimana ketetapan Islam atas
sesuatu, maka ia belum berani berpendapat mengenai sesuatu itu. Ia segera
menambah tsaqofah Islamnya agar ia segera bisa bersikap terhadap sesuatu hal
yang beru baginya itu.


Seseorang yang bersikap dan bertingkah laku
(bernafsiyyah) Islami adalah seseorang yang mampu mengendalikan semua dorongan
pada dirinya agar tidak bertentangan dengan ketentuan Islam. Ketika muncul
dorongan untuk makan pada dirinya, ia akan makan makanan yang halal baginya
dengan tidak berlebih-lebihan. Ketika muncul rasa tertariknya pada lawan jenis,
ia tidak mendekati zina, namun ia menyalurkan rasa senangnya kepada lawan jenis
itu lewat pernikahan. Nafsiyyah seseorang harusnya semakin lama semakin berkembang.
Kalau awalnya ia hanya melakukan yang wajib dan menghindari yang haram, secara
bertahap ia meningkatkan amal-amal sunnah dan meninggalkan yang makruh. Dengan
semakin banyak amal sunnah yang ia lakukan, otomatis semakin banyak aktivitas
mubah yang ia tinggalkan.


Seorang yang berkepribadian Islam tetaplah
manusia yang tidak luput dari kesalahan, tidak berubah menjadi malaikat. Hanya
saja ketika ia khilaf melakukan kesalahan, ia segera sadar bertobat kepada
Allah dan memperbaiki amalnya sesuai dengan Islam kembali.


2. Mengusai Tsaqofah Islam


“Katakanlah (hai Muhammad), apakah sama
orang-orang yang berpengetahuan dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan.”
(Qs. az-Zumar [39]: 9).


Berbeda dengan ilmu pengetahuan (science),
tsaqofah adalah ilmu yang didapatkan tidak lewat eksperimen (percobaan), tetapi
lewat pemberitaan, pemberitahuan, atau pengambilan kesimpulan semata. Tsaqofah
Islam adalah tsaqofah yang muncul karena dorongan seseorang untuk terikat pada
Islam dalam kehidupannya. Seseorang yang beraqidah Islam tentu ingin
menyesuaikan setiap amalnya sesuai dengan ketetapan Allah. Ketetapan-ketetapan
Allah ini dapat difahami dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadist-hadist Rasulullah.
Maka ia terdorong untuk mempelajari tafsir al-Qur’an dan mempelajari hadist. Karena
al-Qur’an dan hadist dalam bahasa Arab, maka ia harus mempelajari Bahasa Arab.
Karena teks-teks al-Qur’an dan hadist memuat hukum dalam bentuk garis besar,
maka perlu memiliki ilmu untuk menggali rincian hukum dari al-Qur’an dan hadist
yaitu ilmu ushul fiqh. Pada saat seseorang belum mampu memahami ketentuan Allah
langsung dari teks Al Qur’an dan hadist karena keterbatasan ilmunya, maka ia
bertanya tentang ketetapan Allah kepada orang sudah memahaminya, dengan kata
lain ia mempelajari fiqh Islam.


Demikianlah Bahasa Arab, Tafsir, Ilmu Hadist,
Ushul Fiqh, dan fiqh merupakan bagian dari tsaqofah Islam. Dengan tsaqofah
Islam, setiap muslim dapat memiliki pijakan yang sangat kuat untuk maju dalam
kehidupan sesuai dengan arahan Islam.


3. Menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(Iptek)



“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi
dan silih bergantinyamalam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi
orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali-Imran [3]: 190).


Mengusai iptek dimaksudkan agar umat Islam dapat
menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT dengan baik dan optimal di
muka bumi ini. Lebih dari itu, Islam bahkan menjadikannya sebagai fardlu
kifayah, yaitu suatu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian rakyat
apabila ilmu-ilmu tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti ilmu kedokteran,
rekayasa industri, dan lain-lain.


4. Memiliki Ketrampilan Memadai


“Siapkanlah bagi mereka kekuatan dan pasukan kuda
yang kamu sanggupi.” (Qs. al-Anfaal [8]: 60).


Penguasaan ketrampilan yang serba material, misalnya
ketrampilan dalam industri, penerbangan dan pertukangan, juga merupakan
tuntutan yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam rangka pelaksanaan tugasnya
sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagaimana halnya iptek, Islam juga
menjadikannya sebagai fardlu kifayah. Harus ada yang menguasainya pada saat
umat membutuhkannya.


B. Pendidikan Dilaksanakan Sesuai Tahap
Perkembangan Anak



Ahmad Zaki Shaleh membagi lima fase perkembangan
anak sebelum baligh yaitu:


1. Fase prenatal (sebelum lahir)


2. Masa bayi (0 – 2 tahun)


3. Masa awal kanak-kanak (3 – 5 tahun)


4. Pertengahan masa kanak-kanak (6 – 10 tahun)


5. Akhir masa kanak-kanak (10 – 14 tahun)


Keberhasilan pendidikan anak sampai masa awal
kanak-kanak (balita) terutama ditentukan oleh pihak keluarga, karena banyak
dilakukan oleh keluarga dan dalam lingkungan keluarga. Sedangkan mulai pada
masa pertengahan kanak-kanak, anak mendapatkan pendidikan di sekolah maka
strategi pendidikan yang diterapkan negaralah terutama menentukan pencapaian
tujuan pendidikan anak sesuai yang digariskan Islam. Selain keluarga dan
negara, pihak lain yang berperan dalam pendidikan anak adalah masyarakat.


C. Pendidikan dalam Keluarga


Pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan
pertama dan terutama bagi anak. Pendidikan di keluarga bertujuan membentuk
fondasi kepribadian Islam pada anak, yang akan dikembangkan setelah anak masuk
sekolah.


Pada fase prenatal terjadi pertumbuhan yang
penting di dalam rahim ibu. Suasana kesehatan dan kejiwaan ibu sangat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak dalam rahimnya. Rangsangan yang
diberikan ibu kepada anaknya dalam rahim sangat penting bagi perkembangan
selanjutnya. Ibu sebaiknya mengaktifkan komunikasi dengan anak sejak dalam
rahim. Memasuki bulan keenam dan ketujuh masa kehamilan, bayi mulai mendengar
suara-suara seperti detak jantung ibu, suara usus dan paru-paru, dan juga suara
lain di luar rahim. Semua itu didengarkan melalui getaran ketuban yang ada
dalam rahim. Suara ibu adalah suara manusia yang paling jelas didengar anak,
sehingga suara ibu selalu menjadi suara manusia yang paling disukai anak. Anak
menjadi tenang ketika ibunya menepuk-nepuk perutnya sambil membisikkan kata
manis. Hal ini akan menggoreskan memori di otak anak. Semakin sering hal itu
diulang semakin kuat guratan itu pada otak anak. Kemampuan mendengar ini
sebaiknya digunakan oleh ibu untuk membuat anaknya terbiasa dengan ayat-ayat
al-Qur’an. Karena suara ibulah yang paling jelas, maka yang terbaik bagi anak
dalam rahim adalah bacaan ayat al-Qur’an oleh ibunya sendiri, bukan dari tape
atau radio atu dari yang lain. Semakin sering ibu membaca al-Qur’an selama
kehamilan semakin kuatlah guratan memori al-Qur’an di otak anak.


Masa 0 – 2 tahun didominasi oleh aktivitas
merekam sedang masa 3 – 5 tahun didominasi oleh aktivitas merekam dan meniru.
Pada masa sekarang, umumnya perkembangan anak lebih cepat sehingga aktivitas
meniru muncul lebih cepat. Pada masa-masa inilah lingkungan keluarga memberikan
nilai-nilai pendidikan lewat kehidupan keseharian. Semua orang yang berada di
lingkungan keluarga harusnya memberikan perlakuan dan teladan yang baik secara
konsisten. Ketika anak sudah mulai bermain ke luar rumah pada masa 3 – 5 tahun
keluarga harus sudah bisa membentengi anak dari nilai-nilai atau contoh-contoh
buruk yang ada di luar rumah.


Menurut Fatima Hareen (1976), masa 3-10 tahun
merupakan fase-fase cerita dan pembiasaan. Pada saat inilah terdapat lapangan
yang luas bagi orangtua untuk menggali cerita-cerita AlQur’an dan sejarah
perjuangan Islam. Anak mengenali sifat-sifat pemberani, jujur, dan mulia dari
pejuang-pejuang Islam.


Masa 6 – 10 tahun adalah masa pengajaran adab,
sopan santun, dan sifat-sifat ahlaq. Juga merupakan masa pelatihan pelaksanaan
kewajiban-kewajiban muslim seperti sholat dan shaum.


Rasulullah Saw bersabda:


“Apabila anak telah mencapai usia 6 tahun, maka
hendaklah ia diajarkan adab dan sopan santun.” [HR. Ibnu Hibban].


“Suruhlah nak-anakmu mengerjakan sholat pada usia
7 tahun dan pukullah mereka pada usia 10 tahun bila mereka tidak sholat, dan
pisahkan mereka dari tempat tidurnya (laki-laki dan perempuan).” [HR. al-Hakim
dan Abu Dawud].


Masa akhir anak-anak (10-14 tahun) merupakan
rentang usia di mana anak-anak umumnya memasuki masa baligh. Jadi masa ini
anak-anak sudah dekat sekali atau bahkan sudah baligh. Karenanya pada masa ini
pemberian tugas sudah harus dilengkapi dengan sanksi apabila mereka tidak
menjalankan tugas yang diberikan. Setelah usia 10 tahun, walaupun mereka belum
baligh, kita sudah harus memukul mereka agar mereka menjadi lebih disiplin dalam
menjalankan sholat. Tentunya nasehat dalam bentuk verbal juga tidak
ditinggalkan.


Demikianlah pendidikan dalam keluarga menyiapkan
anak menjadi muslim YANG BERKUALITAS yang siap menjalankan semua taklif
hukum dari Allah ketika ia memasuki usia baligh. Dari proses pendidikan yang
digambarkan di atas dapat difahami bahwa sesungguhnya ibu bukan satu-satunya
pihak yang bertanggung jawab akan pendidikan anak di dalam keluarga. Namun
memang tidak dapat disangkal bahwa ibu adalah pihak yang paling dominan pengaruhnya
dalam keberhasilan pendidikan anak karena ialah orang yang pertama kali memberi
warna pada anak. Selain itu ibu adalah pihak yang paling dekat dengan anak
sehingga dialah yang paling mudah berpengaruh pada anak. Tidak aneh ketika
Islam menempatkan ibu sebagai suatu posisi utama bagi seorang wanita.
Tugas-tugas sebagai seorang ibu harus didahulukan pelaksanaannya apabila
berbenturan dengan pelaksanaan dengan aktivitas lain.


D. Pendidikan Dalam Masyarakat


Hampir sama dengan pendidikan dalam keluarga,
pendidikan di tengah masyarakat juga merupakan pendidikan sepanjang hayat lewat
pengalamam hidup sehari-hari. Masyarakat Islam memiliki karakteristik
tersendiri dalam membentuk perasaan taqwa di dalam diri individu. Masyarakat
sangat berpengaruh dalam mengubah perilaku individu. Masyarakat Islam juga
memiliki kepekaan yang tinggi sehingga mampu mencium penyelewengan individu
dari jalan Islam dan segera meluruskannya. Dalam pengawasannya individu tidak
akan berani melakukan kemaksiyatan secara terang-terangan.


E. Pendidikan di Sekolah


Di dalam Islam menuntut ilmu adalah wajib ‘ain
sebagaiman sabda Rasulullah Saw:


“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”


Dalam hadist lain dikatakan:


“Jadilah kamu sebagai orang alim atau sebagai
orang yang menuntut ilmu, atau sebagai orang yang mendengar ilmu, atau orang
yang cinta terhadap ilmu. Akan tetapi janganlah kalian menjadiorang yang kelima
(orang yang bodoh), nanti kalian akan binasa.”


Atas dasar ini maka negara wajib menyediakan
pendidikan bagi warga negaranya. Pendidikan ini dilakukan di sekolah-sekolah.
Ijma shahabat menunjukkan negara wajib memberikan pendidikan bebas biaya kepada
setiap warga negara.


Karena menuntut ilmu adalah kewajiban setiap
muslim, maka sekolah tidak bisa dibatasi untuk anak-anak saja. Semua muslim
yang sudah baligh harus mendapat jaminan melaksanakan kewajibannya menuntut
ilmu. Sedangkan penyediaan sekolah untuk kepentingan terbetuknya generasi yang
berkualitas dilakukan untuk anak-anak yang belum baligh sejak mereka berusia 7
tahun.


Untuk tercapainya tujuan pendidikan dalam Islam
yaitu membentuk manusia yang berkepribadian Islam, menguasai tsaqofah Islam,
iptek dan ketrampilan maka negara menerapkan sistem pendidikan.


Kurikulum yang digunakan tentunya bukan kurikulum
yang sekuler seperti yang kita temukan saat ini di sekolah-sekolah di
Indonesia. Pada kurikulum yang kita temukan saat ini, Islam tidak mewarnai mata
pelajaran lain selain mata pelajaran agama Islam. Ketika anak belajar sejarah,
ketatanegaraan, ekonomi, ilmu alam, dan yang lain-lain, mereka tidak menemukan
kaitan antara pelajaran-pelajaran itu dengan aqidah Islam mereka, bahkan mereka
menemukan adanya pertentangan. Mereka tidak mempelajari Siroh dan Tarikh Islam,
namun mereka belajar tentang kejayaaan bangsa-bangsa yang menjajah kaum
muslimin. Jika mereka belajar sejarah mengenai Islam , mereka mempelajari
sejarah yang sudah diputarbalikkan oleh orientalis. Mereka belajar bagaimana
negara kapitalis mengelola pemerintahan, bagaimana mereka mengelola ekonomi,
sehingga mereka tidak mengenal sistem pemerintahan dan ekonomi Islam. Maka
terbentuklah kehidupan mereka yang sekuler. Seharusnya aqidah Islam mewarnai
semua mata pelajaran yang mereka dapatkan di sekolah.


F. Tiga komponen kurikulum


Dalam kurikulum ada tiga komponen yaitu: komponen
pembentukan dan pengembangan kepribadian Islam, komponen tsaqofah Islam, dan
komponen ilmu kehidupan (iptek dan ketrampilan). Contoh proporsi tiga komponen
itu adalah 10: 45: 45.


Komponen kepribadian Islam diberikan secara
konstan dan simultan dari jenjang pendidikan tingkat dasar sampai perguruan
tinggi. Artinya pembinaan kekokohan aqidah, dorongan agar siswa selalu
menstandarkan pemikiran, sikap dan tingkah lakunya dengan aqidah Islam
dilakukan terus menerus. Perbedaan yang ada hanya antara tingkat dasar dan
lanjutan disebabkan siswa di tingkat dasar umumnya siswa yang belum baligh
sehingga lebih banyak materi yang menumbuhkan keimanan. Baru setelah baligh,
materinya merupakan kelanjutan untuk memelihara keimanan, juga untuk
meningkatkan keimanan dan keterikatan kepada hukum syara’.


Adapun komponen tsaqofah Islam dan ilmu kehidupan
diberikan pada semua tingkat pendidikan (dasar sampai PT) secara bertingkat
sesuai tingkat pendidikan.

https://www.facebook.com/profile.php?id=100001069460412

Kembali Ke Atas  Message [Halaman 1 dari 1]

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik